Pendahuluan
Telah lama penantian kita untuk memperoleh
pandangan-pandangan pemikiran tentang pendidikan dari para tokoh pendidikan
islam secara lengkap. Banyak kesulitan yang dihadapi untuk memperoleh referensi
yang lengkap, sehingga tulisan ini hanya akan menyajikan sepenggal biografi dan
pokok-pokok pikiran dari tokoh
pendidikan islam tentang pendidikan.
A.Biografi
Ibnu Qayyim Al Jauziyah
1. NAMA
DAN NASAB BELIAU
Nama lengkapnya adalah Abu
‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d bin Huraiz bin Makk
Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al Jauziyah.
Dia dilahirkan pada tanggal
7 Shafar tahun 691 H. Dia tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif.
Ayahnya adalah kepala sekolah al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa
tahun. Karena itulah, sang ayah digelari Qayyim al-Jauziyah. Sebab itu pula
sang anak dikenal di kalangan ulama dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
2. PERJUANGAN
DALAM MENUNTUT ILMU
Dia memiliki keinginan yang
sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tekad luar biasa dalam mengkaji dan
menelaah sejak masih muda belia. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia
tujuh tahun. Allah mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya
akal luas, pikiran cemerlang, daya hapal mengagumkan, dan energi yang luar
biasa. Karena itu, tidak mengherankan jika dia ikut berpartisipasi aktif dalam
berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat keras dan jiwa
energis untuk menyembuhkan rasa haus dan memuaskan obsesinya terhadap ilmu
pengetahuan. Sebab itu, dia menimba ilmu dari setiap ulama spesialis sehingga
dia menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam dan mempunyai andil besar dalam berbagai
disiplin ilmu.
3. GURU-GURUNYA
Ibnu Qayyim telah berguru
pada sejumlah ulama terkenal. Mereka inilah yang memiliki pengaruh dalam
pembentukan pemikiran dan kematangan ilmiahnya. Inilah nama guru-guru Ibnu
Qayyim.
1. Ayahnya Abu Bakr bin Ayyub (Qayyim
al-Jauziyah) di mana Ibnu Qayyim mempelajari ilmu faraid. Ayahnya memiliki ilmu
mendalam tentang faraid.
2.Imam al-Harran, Ismail bin Muhammad
al-Farra’, guru mazhab Hanbali di Dimasyq. Ibnu Qayyim belajar padanya ilmu
faraid sebagai kelanjutan dari apa yang diperoleh dari ayahnya dan ilmu fikih.
3. Syarafuddin bin Taimiyyah, saudara Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyyah. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
4. Badruddin bin Jama’ah. Dia seorang imam
masyhur yang bermazhab Syafi’i, memiliki beberapa karangan
5. Ibnu Muflih, seorang imam masyhur yang
bermazhab Hanbali. Ibnu Qayyim berkata tentang dia, “Tak seorang pun di bawah
kolong langit ini yang mengetahui mazhab imam Ahmad selain Ibnu Muflih.”
6. Imam al-Mazi, seorang imam yang bermazhab
Syafi’i. Di samping itu, dia termasuk imam ahli hadits dan penghafal hadits
generasi terakhir.
7. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin
al-Halim bin Abdussalam an-Numairi. Dia memiliki pengaruh sangat besar dalam
kematangan ilmu Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim menyertainya selama tujuh belas tahun,
sejak dia menginjakkan kakinya di Dimasyq hingga wafat. Ibnu Qayyim mengikuti
dan membela pendapat Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya penyiksaan yang menyakitkan dari orang-orang fanatik dan
taklid kepada keduanya, sampai-sampai dia dan Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke
dalam penjara dan tidak dibebaskan kecuali setelah kematian Ibnu Taimiyyah.
4. DISIPLIN ILMUNYA
Disiplin ilmu yang didalami
dan dikuasainya hampir meliputi semua ilmu syariat dan ilmu alat. Ibnu Rajab,
muridnya, mengatakan, “Dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam
bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fikih
dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki kontribusi besar di
dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf.”[1]
Dia berkata juga, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih luas ilmunya
dan yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an, Sunnah dan hakekat iman daripada
Ibnu Qayyim. Dia tidak makshum tapi memang saya tidak melihat ada orang yang
menyamainya.” [2]
Ibnu Katsir berkata, “Dia
mempelajari hadits dan sibuk dengan ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu,
utamanya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.”[3]
Adz-Dzahabi berkata, “Dia
mendalami hadits, matan dan perawinya. Dia menggeluti dan menganalisa ilmu
fikih. Dia juga menggeluti dan memperkaya khasanah ilmu nahwu, ilmu ushuluddin,
dan ushul fikih.”[4]
Ibnu Hajar berkata, “Dia
berhati teguh dan berilmu luas. Dia menguasai perbedaan pendapat para ulama dan
mazhab-mazhab salaf.”[5]
As-Suyuthi berkata, “Dia
telah mengarang, berdebat, berijtihad dan menjadi salah satu ulama besar dalam
bidang tafsir, hadits, fikih, ushuluddin, ushul fikih, dan bahasa Arab.”[6]
Ibnu Tughri Burdi berkata,
“Dia menguasai beberapa cabang ilmu, di antaranya tafsir, fikih, sastra dan
tatabahasa Arab, hadits, ilmu-ilmu ushul dan furu’. Dia telah mendampingi
Syaikh Ibnu Taimiyyah sekembalinya dari Kairo tahun 712 H dan menyerap darinya
banyak ilmu. Karena itu, dia menjadi salah satu tokoh zamannya dan memberikan
manfaat kepada umat manusia.”
5. MURID-MURIDNYA
Manusia mengambil manfaat dari ilmu Ibnu
Qayyim. Karena itu, dia memiliki beberapa murid yang menjadi ulama terkenal. Di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Al-Burhan Ibnu Qayyim. Dia adalah putra
Burhanuddin Ibrahim, seorang ulama nahwu dan fikih yang mempuni. Dia belajar
dari ayahnya. Dia telah berfatwa, mengajar, dan namanya dikenal. Metodenya sama
dengan sang ayah. Dia memiliki keahlian dalam bidang tatabahasa Arab. Karena
itu, dia menulis komentar atas kitab Alfiyah IbniMalik. Kitab komentar
(syarh) itu dia namakan Irsyad al-Salik ila Halli Alfiyah Ibni Malik.
2. Ibnu
Katsir. Dia adalah Ismail ‘Imaduddin Abu al-Fida’ bin ‘Umar bin Katsir ad-
Dimasyqi asy-Syafi’i, seorang imam hafizh yang terkenal.
3. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman
Zainuddin Abu al-Faraj bin Ahmad bin Abdurrahman yang biasa digelar dengan
Rajab al-Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
4. Syarafuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia
adalah putra Abdullah bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih
pengajaran setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
5. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali
bin Tammam as-Subki Taqiyuddin Abu al-Hasan.
6. Adz-Dzahabi. Dia adalah Muhammad bin Ahmad
bin ‘Usman bin Qayimaz adz- Dzahabi at-Turkmani asy-Syafi’i. Dia adalah seorang
imam, hafizh yang memiliki banyak karangan dalam hadits dan Iain-lain.
7.Ibnu Abdulhadi. Dia adalah Muhammad
Syamsuddin Abu Abdullah bin Ahmad bin Abdulhadi al-Hanbali. Dia adalah seorang
hafizh yang kritis.
8. An-Nablisi. Dia adalah Muhammad
Syamsuddin Abu Abdullah an-Nablisi al- Hanbali. Dia mempunyai beberapa
karangan, di antaranya kitab Mukhtashar Thabaqat al-Hanabilah.
9. Al-Ghazi. Dia adalah Muhammad bin
al-Khudhari al-Ghazi asy-Syafi’i. Nasabnya sampai kepada Zubair bin Awwam r.a.
10.Al-Fairuzabadi. Dia adalah Muhammad
bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i. Dia pengarang sebuah kamus dan
karangan-karangan lain yang baik.
6. KARYA KARYANYA
Ibnu Qayyim adalah orang
yang sangat banyak mengarang buku. Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi
karya-karyanya secara teliti menjadi sulit. Inilah daftar buku-buku karangannya
yang diberikan para ulama.
1. Al-Ijtihad wa at-Taqlid. Ibnu Qayyim
menyebutkannya dalam kitab Miftah Dar As-Sa’adah.
2. Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah. Telah
dicetak berulang kali.
3. Ahkam Ahl adz-Dzimmah. Telah dicetak dalam dua
jilid yang ditahkik oleh Shubhi ash-Shalih.
4. Asma’ Muallafat Ibnu Taimiyyah. Sebuah
disertasi yang diterbitkan atas tahkik Shalahuddin al-Minjid.
5. Ushul at-Tafsir. Ibnu Qayyim menyebutkannya
dalam kitab Jala’ al-Afham.
6. Al-A’lam bi Ittisa ‘i Thuruq al-Ahkam. Dia
menyebutkannya dalam kitab Ighatsah al-Luhfan.
7. A’lam al-Muaqqi ‘in ‘an Rabb al-Alamin.
Telah dicetak berulang kali dalam empat jilid.
8. Ighatsah al-Luhfan min Mashadir
asy-Syaithan. Telah berkali-kali dicetak dalam dua jilid.
9. Ighatsah al-Luhfan fi Hukm Thalaq
al-Ghadban. Sebuah disertasi yang telah dicetak atas tahkik Muhammad
Jamaluddin al-Qasimi.
10. Iqtida’ adz-Dzikr bi Hushul al-Khair
wa Daf’i asy-Syar. Ash-Shufdi menyebutkannya dalam kitab al-Wafi bi
al-Wafiat (11/271) dan Ibnu Tughri Burdi dalam kitab al-Manhal ash-Shafi
011/62), sebuah manuskrip.
11. Al-Amali al-Makkiyah. Ibnu Qayyim
menyebutkannya dalam kitab Badai’u al- Fawaid.
12. Amtsal al-Qur’an. Telah tercetak.
13. Al-Ijaz. Pengarang kitab Kasyf
azh-Zhunun (1/206) dan al-Baghdadi dalam kitab Hadiah al-Arifin (11/158)
menisbahkannya kepada Ibnu Qayyim.
14. Badai’ al-Fawaid. Tercetak dalam dua jilid.
15. Buthlan al-Kimiya’ min Arba’in Wajhan.
Buku ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Qayyim dalam buku Miftah Dar as-Sa
‘adah.
16. Bayan al-Istidlal ‘ala Buthlan
Isytirath Muhallil as-Sibaq wa an-Nidhal. Kitab ini telah disebutkan oleh
Ibnu Qayyim dalam kitab A’lam al- Muwaqqi’in. Dan juga ash-Shufdi dalam
kitab al-Wafi bi al-Wafiyat (11/271) dan Ibnu Rajab dalam kitab Dzail
Thabaqat al-Hanabilah (11/450) telah menyebutkannya dengan nama ad-Dalil
‘ala Istighnai al-Musabaqah ‘an at- Tahlil.
17. At-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an. Telah dicetak
beberapa kali.
18. At-Tahbir lima Yahillu wa Yahrum min
Libas al-Harir. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Zad al-Ma ‘ad.
19. At-Tuhfah al-Makkiyah. Dia
menyebutkannya dalam berbagai tempat dalam kitab Badai’u al-Fawaid.
20. Tuhfah al-Maududfi Ahkam al-Maulud. Telah
dicetak berulang kali.
21. Tuhfah an-Nazilin bi Jiwar Rabb
al-Alamin. Dia menyebutkannya dalam kitab Madarij as-Salikin.
22. Tadbir ar-Riasah fi al-Qawaid
al-Hukmiyah bi adz-Dzaka’ wa al-Qarihah. Al- Baghdadi menyebutkannya dalam
kitab al-Idhah al-Maknun fi adz-Dzail ‘ala Kasyf azh-Zhunun (1/271).
23. At-Ta’liq ‘ala al-Ahkam. Ibnu Qayyim
mengisyaratkannya dalam kitab Jala’ al- Afham.
24. At-Tafsir al-Qayyim. Ini adalah
tulisan terpisah-pisah dalam tafsir Syaikh Muhammad Uwais an-Nadawi dalam satu
jilid. Tapi, dia tidak mencakup semua ucapan Ibnu Qayyim dalam tafsir. Namun,
itu adalah suatu usaha yang patut mendapat pujian.
25. Tafdhil Makkah ‘ala al-Madinah. Ibnu
Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam kitab Thabaqat
al-Mufassirin (11/193), Ibnu al-’Ammad dalam kitab Syadzarat al-Dzahab (6/178)
dan al-Sakhawi dalam kitab al-A’lam bi at- Taubikh (him. 280) telah
menyebutkannya, tapi dengan nama Tafdhil Makkah.
26. Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Daud. Telah
dicetak bersama dengan kitab Mukhtashar al-Mundziri dan syarahnya Ma
‘alim as-Sunan oleh al-Khatthabi dalam delapan jilid.
27. Al-Jami’ bain as-Sunan wa al-Atsar. Ibnu
Qayyim menyebutkannya dalam kitab Badai’u al-Fawaid.
28. Jala’u al-Afhamfi ash-Shalat wa
as-Salam ‘ala Khair al-Anam. Telah dicetak berkali-kali di Mesir dan India.
29. Jawabat Abidi ash-Shalban wa
Anna ma Hum ‘alaih Din asy-Syaithan. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalam kitab ath-Thabaqat (IV 93) dan Ibnu al-’Ammad dalam
kitab asy-Syadzarat (VI/179) menyebutkannya.
30. Al-Jawab asy-Syafi li man Sa ‘ala ‘an
Tsamarah ad-Du ‘a idza Kana ma Quddura Waqi’un. Asy-Syaukani menyebutkannya
dalam kitabal-Badrath-Thali’(1V144).
31. Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah. Telah
dicetak berkali-kali.
32. Al-Hamil, Hal Tahidhu am La. Ibnu
Qayyim telah menyinggung masalah ini dalam kitab Tahdzib Sunan at-Tirmidzi.
33. Al-Hawi. Ahmad ‘Ubaid dalam kata
pengantar kitab Rawudah al-Muhibbin berkata, “Ibnu Hajar al-Asqallani
telah menyebutkannnya dalam kitab Fath al- Bari, juz XI”
34. Hurmah as-Sima’. Haji Khalifah
dalam kitab Kasyf azh-Zhunun (1/650) dan al- Baghdadi dalam kitab Hadiyah
al-Arifin (11/158) telah menyebutkannya.
35. Hukm Tarik ash-Shalah. Telah berkali-kali
dicetak.
36. Hukm Ighmam HilalRamadhan. Ibnu
Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam kitab ath-Thabaqat
(11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam kitab asy- Syadzarat (VI/169) telah
menyebutkannya.
37. Hukm Tafdhil Ba’d al-Awulad ‘ala Ba’d
fi al-’Athiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Tahdzib as-Sunan.
38. Ad-Da’ wa ad-Dawa’. Telah dicetak
berkali-kali dan dinamakan juga dengan al- Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an
ad-Dawa’asy-Syafi.
39. Dawa’ al-Qalb. ‘Abdullah
al-Jabburi menyebutkannya dalam Fihris Maktabat Awuqaf Baghdad (11/369).
Ada juga naskah dengan tulisan tangan oleh al-Jabburi dengan nomor 4732.
Kemungkinan besar naskah ini adalah naskah kitab ad- Da ‘ wa ad-Dawa’. Meskipun
demikian, lebih baik kita menahan diri dalam mengambil kesimpulan sebelum
membaca transkrip naskah tersebut. Wallahu a’lam.
40. Rabi’ul-Abrar fi-ashshalah ‘ala
an-Nabi al-Mukhtar. Al-Baghdadi menye butkannya dalam kitab Hadiyah
al-’Arifin (11/272) setelah menyebutkan kitab Jala’u al-Afham.
41. Ar-Risalah al-Halabiyahfi ath-Thariqah
al-Muhammadiyah. Ini adalah kumpulan bait-bait syair. Muridnya ash-Shufdi
dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272), Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal
ash-Shafi yang masih dalam bentuk manuskrip (111/62), ad-Dawudi dalam ath-Thabaqat
(IV93) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/861)
menyebutkannya.
42. Ar-Risalah asy-Syafi’iyah fi Ahkam
al-Mu’awwidzatain. Muridnya ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272)
dan Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal as- Shafi (111/62) menyebutkannya.
43. Risalah Ibni Qayyim ila Ahad
Ikhwanihi. Ditemukan satu naskahnya dalam kumpulan manuskrip perpustakaan
al-Mahmudiyah di Madinah al-Munawwarah nomor 8/221 majami’ yang terdiri dari
beberapa halaman dalam ukuran kecil.
44. Ar-Risalah at-Tabukiyah yang
dicetak di Mesir dengan nama ini dan dicetak juga dengan judul Tuhfah
al-Ahbab fi Tafsir Qawuluhi Ta ‘ala: wa ta ‘awanu ‘alalbirri wattaqwa wa la
ta’awanu ‘alalitsm wal’udwan wa attaqullaha innallaha syadidul’iqab.
45. Raf’u at-Tanzil. Haji Khalifah
dalam Kasyf azh-Zhunun (1/909) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah
al-’Arifin (11/158) menyebutkannya.
46. Raf’u al-Yadainfi ash-Shalah. Muridnya
Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/150), ash-Shufdi dalam al-Wafi bi
al-Wafiyat (11/272), Ibnu Hajar dalam ad-Duraf al- Kaminah (IV/33),
as-Suyuthi dalamBaghyah al-Wu’at (V63), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93),
Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan Haji Khalifah dalam Kasyf
azh-Zhunun (1/911).
47. Raudhah al-Muhibbin wa Nazhah
al-Musytaqin. Ibnu Qayyim menulisnya dalam perjalanan jauh dari tanah air
dan perpustakaannya. Kitab ini telah dicetak berkali- kali.
48. Ar-Ruh. Telah tersebar di kalangan
beberapa penuntut ilmu bahwa kitab ini bukan karangan Ibnu Qayyim atau dia
menulisnya sebelum berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah.
Akan tetapi, orang yang menelaahnya akan
menemukan kejelasan bahwa kitab ini adalah karangan Ibnu Qayyim dan ditulisnya
setelah berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah. Yang menguatkan pendapat ini adalah
bahwa Ibnu Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam kitabnya at-Tibyan. Ibnu
Qayyim juga telah menyebutkan gurunya, Ibnu Taimiyyah kurang lebih sepuluh kali
dalam kitab ar-Ruh dengan mengutip pendapat-pendapatnya serta
menyebutkan pendapat yang dipilihnya.
Di samping itu, kita
menemukan ada sekelompok tokoh autobiografer Ibnu Qayyim telah menyebutkan
kitab ini dalam buku-buku karangan mereka. Mereka itu seperti al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam ad-Durar al-Kaminah (IV/23), as-Suyuthi dalam Baghyah
al-Wu’at (1/63), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170),
asy-Syaukani dalam al-Badr at-Thali’ (11/144), Haji Khalifah dalam Kasyfazh-Shunun
(11/1421), al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) dan
al-Alusi dalamJala’u al-’Ainain (him. 32).
49. Ar-Ruh wa an-Nafs. Ini bukan kitab
ar-Ruh. Ibnu Qayyim telah menyebutkannya dalam kitab ar-Ruh, Mitah
as-Sa’adah dan Jala’u al-Afham.
50. Zad al-Musafirin ila Manazil as-Su
‘ada ‘fi Hadyi Khatam al-Anbiya’. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/93),
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/169), dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
51. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-’Ibad. Ini
telah dicetak berkali-kali di India, Mesir, Syiria dan terakhir diterbitkan
dalam lima jilid.
52. As-Sunnah wa al-Bid’ah. Ahmad
‘Ubaid menyebutkannya dalam mukadimah kitab Rawudhah al-Muhibbin.
53. Sharh Asma’ al-Kitab al-Aziz. Ibnu
Rajab dalam adz-Dzail (11/449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/92)
dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) menyebutkannya.
54. Syarh al-Asma’ al-Husna. Ibnu
Rajab dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93)
dan Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170) menyebutkannya.
55. Syifa’ al-Alil fi Masail al-Qadha’ wa
al-Qadr wa al-Hikmah wa at-Ta’lil. Ini telah diterbitkan.
56. Ash-Shabr wa as-Sakan. Haji
Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1432) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah
al-Arifin (11/158) telah menyebutkannya.
57. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkam Ahl
al-Jahim. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/169).
58. Ash-Shawaiqal-Munazzalah
‘alaaj-Jahmiyah waal-Mu’atthilah, satujilid. Ibnu Rajab menyebutkannya
dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu
al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169), asy-Syaukani dalam al-Badr
at-Thali’ (117144), Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1083),
al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) dengan nama ash-Shawaiq
al-Mursalah. Kitab ini belum diterbitkan, yang telah diterbitkan hanya
kitab al-Mukhtashar karya Muhammad bin al-Maushili.
59. At-Tha’un. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/93), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93),
Ibnu al-’Ammad dalam Asy-Syadzarat (W196) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah
al-Arifin (11/158).
60. Thibb al-Qulub. Az-Zarkali
menyebutkannya dalam kitab al-A’lam (VI/280), Ahmad ‘Ubaid dalam mukadimah
Rawudhah al-Muhibbin dan dia berkata, “Profesor Ma’luf menyebutkan bahwa
ada satu naskahnya di Berlin.”
61. At-Thibb an-Nabawi. Ibnu Qayyim
menyatukannya dengan kitab Zad al-Ma ‘ad, tapi ia telah diterbitkan
secara terpisah.
62. Thariq al-Hijratain wa Bab
as-Sa’adatain. Telah dicetak beberapa kali. Ibnu Qayyim menyebutkan kitab
ini dalam berbagai kitab karangannya dengan judul Safar al-Hijratain.
63. At-Thuruq al-Hukmiyahfi as-Siyasah
asy-Syar’iyah. Telah dicetak ulang beberapa kali.
64. Thariqah al-Bashair ila Hadiqah
as-Sarair fi Nazhm al-Kabair. Kitab ini tercantum dalam indeks buku-buku
Auqaf di Baghdad dan disebutkan bahwa buku ini ada naskahnya yang sangat
berharga ditulis tahun 811 H.
65. Thalaq al-Haidh. Ibnu Qayyim menyebutkannya
dalam kitab Tahdzib Sunan Abi Dawud.
66. ‘Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah
asy-Syakirin. Ini telah dicetak berulang kali.
67. Aqd Muhkam al-Ahibba’ baina al-Kalam
at-Thayyib wa al-Amal ash-Shalih al- Marfu’ ila Rabb as-Sama’. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat
(11/92), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) dan al-Baghdadi
dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
68. Al-Fatawa. Al-Alusi menyebutkannya
dalam Jala ‘u al- Ainain.
69. Al-Fath al-Quds. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail
(II450), ad-Dawudi dalam at- Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/169) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
70. Al-Fath al-Makki. Ibnu Qayyim telah
menyebutkannya dalam kitabnyaitoda’w al-Fawaid.
71. Al-Futuhat al-Qudsiyah. Ibnu
Qayyim menyebutkannya dalam kitabnyaMiftah Daras-Sa’adah.
72. Al-Farq bain al-Khillah wa al-Mahabbah
wa Munazharah al-Khalil li Qawumih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail
(11/450) dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
73. Al-Farusiyah. Kitab ini adalah
ringkasan kitab al-Farusiyah asy-Syar’iyah. Dan, telah dicetak di Mesir.
74. Al-Farusiyah asy-Syar’iyah. Ibnu
Tughri Burdi menyebutkannya dalam a\-Manhal ash-Shafi (E/hlm. 93
75. Fahdl ‘Iim wa Ahlih. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450) dan ad-Dawudi dalam at-Thabaqat
(11/93).
76. Fawadh fi al-Kalam ‘ala Hadits
al-Ghamamah wa Hadits al-Ghazalah wa ad- Dhub wa Ghairih. Sebuah tulisan
yang terdiri dari sembilan belas lembar dalam manuskrip perpustakaan azh-Zhahiriyah
di Damaskus dengan nomor 5485. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam
indeks perpustakaan halaman 100 juga menyebutkannya.
77. Al-Fawaid. Telah dicetak.
78. Qurrah ‘Uyun al-Muhibbin wa Rawudhah
Qulub al-’Arifin. Al-Baghdadi menyebutkannya dalam Hidayah al-’Arifin (11/158).
79. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi an-Nahw. Pengarang
Kasyf azh-Zhunun (11/1369).
80. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi al-Intishar
li al-Firqah an-Najiyah. Telah dicetak beberapa kali. Kitab inilah yang
dikenal dengan al-Qashidah an-Nuniyah.
81.
Al-Kabair. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawud dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat
(Vl/hlm. 168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
82. Kasyf al-Ghitha’ ‘an Hukm Sima’ al-Ghina’.
83.
Al-Kalam at-Thayyib wa al-’Amalash-Shalih. Telah dicetak beberapa kali
di Mesir dan India dengan judul al-Wabil ash-Shaib min al-Kalam at-Thayyib.
84.
Al-Lamhahfiar-Rad ‘alaIbni Thalhah. Al-’Allamahal-Manawimenyebutkannya
dalam Faidh al-Qadir (1/116).
85. Madarij as-Salikin baina Manazil
Iyyaka Na’bud wa Iyyaka Nasta’in. Ini telah dicetak dalam tiga jilid.
86. Al-Masail at-Tharablisiyah. Ibnu
Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat
(11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam asy- Syadzarat (VI/169).
87. Ma’ani al-Hurufwa al-Adawat. Ash-Shufdi
menyebutkannya dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/271), Ibnu Tughri Burdi
dalam al-Manhal ash-Shafi (11/62) yang masih dalam bentuk manuskrip,
ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), as-Suyuthi dalam Baghyah
al-Wu’at (1/63) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/ 1729).
88. Miftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur
Wilayah al-’Hm wa al-Iradah. Inilah kitab kita sekarang ini. Ibnu Qayyim
menyebutnya dalam mukadimah dengan judul Miftah Dar as-Sa ‘adah wa Mansyur
Wilayah AM al- ‘Urn wa al-Iradah. Kitab ini telah dicetak dua kali, tapi
tanpa tahkik. Cetakan ini, sepanjang pengetahuan kami, merupakan naskah tahkik
pertama.
89. Al-Manar al-Muniffi ash-Shahih wa
ad-Dhaif. Ini telah berulangkali dicetak.
90. Al-Mawurid ash-Shafi wa az-Zhil
al-Wafi. Al-Baghdadi menyebutkannya dalam Hidayah al-’Arifin (11/159)
dan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Thariq al-Hijratain.
91. Maulid an-Nabawi saw. Asy-Syaukani
menyebutkannya dalam al-Badr ath-Thali’ (11/144) dan Shadiq al-Qannuji
dalam at-Tajal-Mukallal. Al-Qannuji menyebutkan bahwa dia memiliki satu
manuskrip dari kitab ini.
92. Al-Mahdi. Haji Khalifah
menyebutkannya dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1465).
93. Al-Muhadzab fi…. Haji Khalifah
menyebutkannya dalam Kasyf azh-Zhunun (IV1914).
94. Naqd al-Manqul wa al-Mahk al-Mumayyiz
bain al-Maqbul wa al-Mardud. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalamath-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Arifin (11/159).
95. Nikah al-Muhrim. Ibnu Rajab
menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam ath-Thabaqat
(11/193), dan Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
96. Nur al-Mu’min wa Hayatuh. Ibnu
Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 450), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat
(VI/178) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Arifin (11/159).
97. Hidayah al-HayarifiAjubah al-Yahud wa an-Nashara. Ini
telah tercetak beberapa kali.
Selain itu, di sana ada
juga artikel atau tulisan tersendiri karya Ibnu Qayyim yang diambil dari buku
dan karangan-karangannya. Misalnya kitab Bulugh as-Sulfi
Aqdhiyatil-Rasulsaw. yang
disarikan dari kitab A’lam al-Muwaqqi’in,
Tafsir al-Fatihah dari kitabMadarijas-Salikin, Tafsir al-Mu’awwidzatain dari
kitabBadaiul-Fawaid, ar-Risalah al-Qabriyahfi ar-Radd ‘ala
MunkiriAdzabil-QabrMinaz-Zanadiqah wal-Qadariyah dari kitab ar-Ruh.
Sebagian orang tidak mampu
membedakan antara Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan Ibnu al-Jauzi karena kemiripan
nama. Kesalahan ini telah berakibat pada penisbahan beberapa kitab karya Ibnu
al-Jauzi kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Kesalahan seperti itu terjadi karena
kelalaian para penulis manuskrip atau karena perbuatan orang-orang yang
sentimen terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Sebagai bukti adalah bahwa
Ibnu al-Jauzi adalah Abdurrahman bin Ali al-Qursyi, wafat tahun 597 H. Meskipun
dia adalah salah seorang ulama dari golongan Hanbali yang terkemuka dan banyak
menulis, tapi dalam kajian masalah nama-nama dan sifat Allah SWT dia tidak
mengikuti metode Imam Hanbal karena dia dalam hal ini menempuh metode takwil.
Ini jelas bertentangan dengan metodologi Ibnu Qayyim sebab dia menempuh metode
ulama salaf.
Di antara buku yang
dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim, padahal sebenarnya itu adalah karya Ibnu
al-Jauzi, adalah kitab Daf’u Syubahit-Tasybih bi Akaffit-Tanzih. Kitab
ini banyak memuat takwil yang keliru. Karena itu, dia terjerumus dalam ta’thil
guna melepaskan diri dari noda tasybih (penyerupaan).
Allah Tabaroka wa ta’ala
telah memberikan petunjuk kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah sehingga dia mengikuti
langkah ulama salaf. Sebab itu, dia selamat dari noda tasybih dan bahaya
takwil. Dia menempuh cara ulama salaf di mana
dia hanya menetapkan apa yang ditetapkan Allah SWT untuk diri-Nya dan apa yang
ditetapkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan penyimpangan, tasybih dan ta
‘thil.
Demikian pula kitab Akhbar
an-Nisa’. Kitab ini dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah, padahal
kitab ini dikenal sebagai karya Ibnu al-Jauzi.
7. WAFATNYA
Kitab-kitab biografi
sepakat bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat pada malam Kamis setelah azan
Isya’, tanggal 13 Rajab tahun 751H. Dia dishalati setelah shalat Zhuhur
keesokan harinya di Mesjid al-Umawi, kemudian di Mesjid Jarah. Dan, dimakamkan
di perkuburan al-Bab ash-Shaghir dekat makam ibunya di Damaskus.
B.
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Sekarang tibalah saatnya kita mengkaji pemikiran
Ibnu Qayyim mengenai tarbiyah yang Insya Allah dengan menelaah pandangan
beliau akan kita temukan perbandingan antara pemikiran beliau dengan pemikiran
pakar tarbiyah lainnya baik segi kesamaan maupun perbedaannya.
Beliau memaparkan pemikirannya mengenai tarbiyah ini, ketika
sedang mengomentari tafsiran Ibnu Abbas Ra terhadap kata Rabbani yang
ditafsirkan dengan makna tarbiyah, beliau berkata, “ Tafsiran Ibnu Abbas
Ra ini dikarenakan bahwa kata Rabbani itu pecahan dari kata tarbiyah yang
artinya mendidik manusia dengan ilmu sebagaimana seorang bapak mendidik
anaknya. “ kemudian setelah itu beliau menukil pendapat Al-Mubarrad Ra
yang mengatakan, “ bahwa Rabbani adalah seorang yang
mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. “ Selanjutnya
beliau berkata, “Kata Rabbani diartikan dengan makna seperti itu
dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu-Rabban
yang artinya adalah seorang pendidik (perawat) yaitu seorang yang merawat
ilmunya sendiri agar menjadi sempurna sebagaimana orang yang mempunyai
harta merawat hartanya agar bertambah dan merawat manusia dengan ilmu tersebut
sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya.[7]
Jika kita perhatikan dengan seksama pemikiran Ibnu
Qayyim Rahimahullah mengenai tarbiyah ini, maka bisa kita simpulkan bahwa
pemikiran beliau tidak jauh dari makna tarbiyah secara bahasa dan tidak pula
berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh sebaginan pakar tarbiyah ini, hal
sedemikian tidak terlalu mengherankan karena beliau adalah seorang murabbi sejati
yang benar-benar paham tentang hakekat tarbiyah dan mengerti bagaimana
seharusnya tarbiyah itu dipraktekkan.[8]
Tarbiyah menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan
hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah (cara)
mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “ Antara hati dan badan
sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan
ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari
sebelumnya.[9]
Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: tarbiyah yang berkaitan
dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh
seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan
menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah.
Tarbiyah seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta
merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan
dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi
dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan
ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan
kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua
yang mendidik dan merawat anak-anaknya.[10]
2.Tujuan
Pendidikan Islam
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan
tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya
agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya
ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu
dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali
untuk beribadah kepada-Nya. Jadi ibadah kepada Allah adalah
tujuan utama diciptakannya seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan saya tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat:56).[11]
Demikianlah beberapa tujuan tarbiyah menurut pandangan Ibnu
Qayyim Rahimullah yang secara umum dapat kita simpulkan dan kita klasifikasikan
menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut ini:
a. Ahdaf Jismiyah ( tujuan yang berkaitan dengan
badan)
Maksudnya diadakan tarbiyah adalah untuk menjaga kesehatan
badan anak didik, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah
kepada orang tua[12]
“ Hendaklah bayi yang baru dilahirkan itu disusukan kepada
orang lain, karena air susu ibu di hari pertama melahirkan sampai hari ketiga
masih bercampur dan kurang bersih serta masih terlalu kasar bagi sang bayi yang
hal ini akan membahayakan sang bayi.”
Termasuk dari ahdaf jismiyah yang hendak
diwujudkan oleh kerja tarbiyah adalah selalu memperhatikan anak dan
mengawasinya dalam hal makan dan minumnya, sebagiman yang
diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimullah berikut ini,[13]
“Hendaklah para orang tua itu tidak membiarkan
anak-anaknya mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu demi
menjaga terbentuknya pencernaannya dan keteraturan cara kerjanya, yang sudah
diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya (teraturnya) kerja
pencernaan tersebut. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan
minuman akan mengurangi penyakit, karena dalam tubuh tidak terdapat timbunan
sisa-sisa makanan.”
b. Ahdaf Akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan
pembinaan akhlak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kebahgiaan akan
bisa diraih dengan terhiasinya diri dengan akhlak mulia dan terjauhkannya dari
akhlak buruk. Oleh karena itu beliau sangat wanti-wanti menasehati
para murabbi (pendidik) agar tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya
untuk berkhianat dan berbohong, sebab khianat dan kebohongan akan merusak
bangunan kebahagiaan jiwanya, sebagaimana pernyataan beliau kepada orang tua
berikut ini,[14]
Jika sekali saja terbuka kesempatan bagi seorang anak untuk
berbuat bohong dan khianat, maka akan hancurlah kebahagiaannya, baik di dunia
maupun di akhirat, dan anak tersebut akan terhalangi untuk mendapatkan seluruh
kebaikan yang semestinya dapat diraihnya, jika ia tidak berbohong dan
berkhianat.”
c. Ahdaf Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan
pembinaan akal)
Tarbiyah yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan
menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Ibnu Qayyim Rahimullah menyebutkan
masalah ini dalam sebuah pernyataan berikut ini,[15]“Yang
perlu diperhatikan oleh para murabbi adalah agar mereka sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berinteraksi dengan sesuatu yang
membahayakan dan merusak akalnya, seperti; minum-minuma yang memabukkan atau
narkoba, dan hendaknya anak didik dijauhkan dari pergaulan denganorang-orang
yang dikhawatirkan akan merusak jiwanya, dan dijauhkan dari melakukan
pembicaraan dan memegang sesuatu yang akan merusak jiwanya, sebab semua itu
akan menjatuhkannya ke lembah kehancuran.”
Ketahuilah, jika sekali saja terbuka kesempatan bagi sang
anak untuk melakukan perbuatan tersebut, maka akan terbiasa melakukan perbuatan
yang hina dan kotor (seperti; zina, mucikari, dan sebagainya), padahal tidaka
akan masuk surga orang-orang yang berbuat zina.”[16]
d. Ahdaf Maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan
skill)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah, tarbiyah
harus memiliki tujuan menyingkap bakat dan keahlian (skill) yang tersimpan
dalam diri seorang anak. Kemudian setelah diketahui bakat anak didiknya, maka
segera diadakan pembinaan dan pengarahan kepada bidang-bidang yang sesuai dan
baik yang akan mewujudkan kemaslahatan diri dan umat manusia secara
keseluruhan.[17]Apa
yang menjadi pemikiran beliau ini bisa kita lihat dalam sebuah pernyataanya
berikut ini, beliau berkata, “Di antara hal yang seharusnya diperhatikan adalah
potensi dan bakat yang dimiliki oleh masing-masing anak. Sebab ia
dilahirkan dengan membawa bakat masing-masing. Asal jangan menggiring anak
kepada sesuatu yang diharamkan syariat. Jika anak dipaksa melakukan atau
menekuni sesuatu yang tidak menjadi bakat atau kecenderungannya, maka ia tidak
akan berhasil, bahkan bias kehilangan bakatnya.”[18]
3.Sasaran
Pendidikan Islam
Adapun sasaran tarbiyah atau yang lebih tepat dikatakan
sisi-sisi yang hendak digarap oleh tarbiyah menurut murabbi yang agung
ini sangat banyak macamnya, diantaranya adalah: tarbiyah imaniyyah,
tarbiyah ruhyiyah, tarbiyah fikriyyah, tarbiyah ‘athifiyyah
(perasaan), tarbiyah khulukiyyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyyah,
tarbiyah iradiyyah (kehendak), tarbiyah badaniyyah dan tarbiyah jinsinyyah.
a.Tarbiyah Imaniyyah
Tarbiyah imaniyah itu ialah sejumlah kegiatan dan
pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman
mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan
pernyataan Ibnu Qayyim berikut ini,[19]
“Hati dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar
keduanya mampu berkembang dan bertambah hingga meraih kesempurnaan dan
kebaikan.”
Jadi, tarbiyah imaniyah ialah usaha untuk menjadikan anak
didik sebagai seorang yang patuh mengerjakan seluruh perintah Allah dan
mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.[20]
Berangkat dari pengertian tarbiyah imaniyah di atas, maka
kita dapat menentukan ghayah (tujuan) dari tarbiyah imaniyah, yaitu
sebagai berikut:
1.Menghambakan
manusia hanya kepada Allah SWT, karena Allah tidak menciptakan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Nya.
2.Mewujudkan
pribadi-pribadi shalih yang hanya beriman kepada Allah Ta’ala dan
memiliki seperangkat ilmu yang bermanfaat, kemudian ilmu tersebut dibuktikan
dengan amal shalih.
3.Mengakui
bahwa ubudiyah yang dilakukan dengan ketundukan dan rendah diri yang sempurna
dengan kecintaan yang sempurna pula adalah salah satu tuntutan uluhiyah Allah Ta’ala.[21]
4.Menjaga
dan melindungi lisan, anggota badan dan detak hati dari setiap sesuatu yang
mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala .
5.Menjadikan
seluruh gerak dan aktivitas seseorang selaras dengan ridha Allah SWT.[22]
Sedangkan sarana-sarana dalam mendidik iman menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah adalah sebagai berikut:
a)Mentadaburi
tanda-tanda kekuasaan Allah dan Dzat Pencipta serta luasnya Rahmat dan Hikmah
perbuatan-Nya.
b)Mengingat
kematian.
b.Tarbiyah
Ruhiyyah
Ibnu Qayyim Rahimullah memiliki
perhatian yang besar pada tarbiyah ruhiyah. Hal ini terbukti dari
beberapa kitab karangannya ada yang berjudul “Ar-Ruh” yang khusus
membahas seluk beluk ruh atau dari lembaran-lembaran kitab karangannya yang
lain beliau menyelipkan di dalamnya bahasan Ar-Ruh.
Ibnu Qayyim mendefinisikan ruh ini dengan berkata,[24]
“Ruh adalah jism (dzat) yang bentuk dan hakekatnya berbeda dengan jism manusia
yang bisa ditangkap indera, ia adalah jism yang bersifat cahaya (nurani) yangs
angat tinggi, ringan, bergerak dan melebur di dalam badan dan seluruh
anggotanya, ia mengalir di dalam badan, layaknya aliran air di sungai atau
layaknya api di dalam bara
Jadi jelaslah bahwa ruh menurut Ibnu Qayyim adalah benda
(jism) yang tercipta, yang memiliki bentuk dan dzat sendiri dan memiliki sifat
dan kekhususan yang berbeda dengan badan, ia tidak bisa ditangkap panca indera
hanya efek kerja dan atsarnya pada badan manusia yang bisa disaksikan.[25]
Ibnu Qayyim Rahimullah berpendapat bahwa kesempurnaan ruh
(nafs) yang menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifahnya tentang Allah,
mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada kesenangan syahwat dan
hawa nafsu. Beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh perintah-Nya. Yang
demikian itu adalah tujuan tertinggi dari tarbiyah ruhiyah menurut Ibnu Qayyim Rahimullah.[26]
Sarana-sarana dalam mendidik ruh adalah sebagai berikut:
1.Memperdalam
iman kepada hal-hal yang ghaib.
2.Kembali
kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya.
3.Mencintai
Allah Dzat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada. Bahkan
kesempurnaan nikmat dan kebahagiaan ruh hambanya ada dalam mahabatullah.[27]
4.Dzikir
mengingat Allah dan mendirikan shalat.
5.Melakukan
munasabah (Introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur.[28]
c.Tarbiyah
Fikriyah
Akal adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota
tubuh dan yang menentukan baik dan rusaknya badan, jika ia baik
maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh badan. Ibnu
Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja, sedang ruh, panca indera dan seluruh
anggota badan adalah sebagai rakyatnya. Jika akal rusak maka
kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”.[29]
Sedangkan yang dimaksud dengan tarbiyah fikriyyah adalah
mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik
dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan
oleh murabbi dengan mentarbiyah orang lain atau dikerahkan oleh individu
terhadap dirinya sendiridalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya
serta meluaskan cakrawala berpikirnya.[30]
Ibnu Qayyim Rahimullah banyak memiliki metode dan cara untuk
mendidik pikiran.[31]
Diantaranya adalah:
a)Dengan
mentadabburi dan memperhatikan makhluk-makhluk Allah dan tanda-tanda
kekuasaan-Nya dengan mata bashirah untuk mengetahui keagungan-Nya, kebesaran
kekuasaan-Nya dan kelembutan kebijaksanaan-Nya.
b)Dengan
mentadabburi ayat-ayat Allah Ta’ala yang terbaca, yaitu Al-Qur’an dan
mentadabburi syari’at-Nya yang diturunkan kepada manusia.
c)Dengan
menjalani semua perintah Allah dan istiqamah di atas manhaj-Nya.
d)Meningkatkan
kewaspadaan terhadap adanya rintangan yang menghalangi perkembangan pikiran,
dan mewaspadai bahaya maksiat.
e)Bukti
perhatian Ibnu Qayyim terhadap perkembangan akal manusia adalah celaan dan
pengingkaran beliau terhadap budaya taklid, karena taklid ini akan membekukan
akal dan pikiran dan mengosongkan dari aktivitas yang bermanfaat.
d.Tarbiyah
‘Athifiyyah
Tarbiyah ‘athifiyyah adalah sebuah tarbiyah yang
mengarahkan setiap perbuatan dan perkataan individu ke arah yang diridhai
Allah, sebagai realisasi dari firman-Nya,
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.
(Al-An’am: 162).
Demikian juga bahwa tarbiyah ‘athifiyah ini mendorong
manusia agar mengarahkan perasaan cintanya hanya kepada Allah Azza Wajalla, hingga
ia mampu merangkak naik bersama perasaan dan instinknya ke derajat yang
menjadikannya sebagai wali Allah Ta’ala.[32]
Ada beberapa metode dan cara untuk memperdalam cinta kepada
Allah dan ubudiyah kepada-Nya di dalam hati, diantaranya adalah:
a)Menanamkan
perasaan bahwa seorang hamba sangat membutuhkan Allah, bukan yang lain..
b)Beribadah
kepada Allah dengan nama-Nya yang Maha awal, Yang Maha akhir, Yang Maha zhahir
dan Maha batin.
c)Menanamkan
perasaan bahwa dia sangat butuh kepada hidayah Allah dan menanamkan kefakiran
kepada-Nya.
d)Menanamkan
pengetahuan dan kesadaran atas nikmat-nikmat Allah kepada manusia.
e)Menanamkan
ilmu pengetahuan bahwa cinta kepada Allah adalah tuntutan iman.[33]
e.
Tarbiyah Khulukiyah
Yang dimaksud dengan tarbiyah khulukiyah adalah
melatih anak untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang terpuji,
sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan
sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang dengannya sang anak
mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari
jeratan akhlak yang buruk.[34]
Ketahuilah sesunguhnya seorang anak itu berkembang di atas apa yang dibiasakan
oleh murabbi terhadapnya di masa kecilnya.[35]
Menurut Ibnu Qayyim, sumber tarbiyah khulukiyah
itu adalah: pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), sebuah kitab yang menjadi panduan
dalam pendidikan umat yang telah disifati Allah sebagai sebaik-baik umat,[36]
firman-Nya,
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9
“Kalian
adalah sebaik-baik umat yang yang dikeluarkan untuk manusia.” (Al-Imran:
110)
Kedua, sumber mata air yang menjadi penyiram bagi ladang
tarbiyah khulukiyah adalah Sunnah Rasulullah sekaligus sirah perjalanan beliau
yang merupakan praktek amali bagi ajaran Islam. Rasulullah Saw teladan dalam
berakhlak mulia dan beliau adalah puncak semua akhlak mulia.[37]Tujuan
tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah merealisasikan ubudiyah
kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya
Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi.
Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan menjauhkan
diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang utama,
sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang tercela dan rusak,
sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.[38]
Termasuk dari metode tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu
Qayyim adalah:
1.Uslub
takhliyah (pengosongan) dan tahalliyah (menghiasi diri)[39]
2.Mengaktifkan
dan menyertakan anak dalam berbuat baik dan al-birr
3.Uslub
pelatihan dan pembiasaan
4.Memberi
gambaran yang buruk tentang akhlak tercela
5.Menunjukkan
buah yang baik berkat akhlak yang baik.[40]
f.Tarbiyah
Ijtimaiyyah
Tarbiyah ijtima’iyyah yang disebutkan oleh Ibnu
Qayyim ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah
masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan
sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ
لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah
sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya
sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari).[41]
Tarbiyah ijtima’iyyah yang baik, menurut Ibnu Qayyim, ialah yang selalu
memperhatikan perasaan orang lain, mengajak mereka agar ikut
membahagiakan dan menyenangkan hati saudara-saudaranya.
Kemudian beliau menyebutkan tentang hak-hak bermasyarakat,
di antaranya adalah bahwa orang yang sakit itu memiliki hak untuk diziarahi.
Termasuk faedah ziarah yang manfaatnya kembali kepada orang yang sakit
adalah, ziarah mampu mengembalikan kekuatannya, membangkitkan kebahagiaan
jiwanya, menyenangkan hatinya dan mendatangkan sesuatu yang menggembirakan
orang yang sakit.[42]
Ibnu Qayyim berwasiat kepada orang tua dan murabbi yang
bertangung jawab atas urusan seorang anak agar mereka menjauhkan
anak-anaknya dari tempat-tempat yan tersebar di dalamnya kemungkaran dan
kesesatan, karena sesunguhnya seorang anak itu dalam keadaan fitrahnya, suci
jiwanya dan bersih hatinya ibarat lembaran putih yang bisa ditulisi
apa saja di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya berinteraksi dengan
masyarakat itu tidak berbahaya, namun terlalu lama
membiarkan anak berinteraksi dengan masyarakat akan dapat mendatangkan kerugian
yang besar kepadanya dan terhalangi untuk mendapatan kebaikan dunia dan
akhirat.
Demikianlah dasar-dasar bermasyarakat yang agung, yang jika
setiap individu masyarakat mau mempraktekkannya, niscaya akan tersebar
kebersamaan dan persaudaraan serta keamanan di semua lini masyarakat tersebut,
dan niscaya ikatan masyarakat tersebut terjalin kuat sebagaiannya menguatkan
sebagian yang lain dan saling menopang antara sebagian yang lain.[43]
g.Tarbiyah
Iradiyyah (Kehendak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kedudukan iradah
(kehendak) bagi jiwa manusia sangat agung dan
menentukan, karena iradah berperan sebagai mesin penggerak
untuk beramal. Dan kebahagiaan itu terbangun di atas dua pondasi, yaitu: ilmu
dan iradat.[44]
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa iradah itu
bermacam-macam dan ada awalnya, sedang awal bagi iradah menurut beliau adalah al-ham
(kecenderungan). Adapun tingkatan iradah dan macam-macamnya ini sesuai
dengan variabel dan dorongannya, jika sebab dan dorongannya adalah mahabbatullah
dan keinginan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, maka ia merupakan
tingkatan iradah yang tertinggi, dan jika dorongan itu hanya
sekedar nafsu dan keinginan sang pemiliknya (manusia) maka ia
adalah iradah yang paling rendah.[45]
Tanda iradah yang sehat adalah ketika seseorang
memasuki waktu pagi dan petang, sedang dalam ahlinya tidak terlintas selain
kehendak untuk menghadap selain Allah Ta’ala. Sedangkan Iradah
yang rusak akan lahir dalam bentuk penyakit ilmu, pengetahuan, dan
keahlian yang berlawanan dengan syari’at Allah.[46]
Adapun sarana tarbiyah iradiyyah ini banyak sekali
macamnya, di antaranya mencintai sesuatu yang diridahi, karena cinta adalah
pendorong yang kuat yang menghantarkan seseorang kepada kekasih yang diiradahi
dan dicintai, tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam meniti jalan menuju
yang diiradahi serta sabar di dalamnya, melatih jiwa agar bersungguh-sungguh
dalam beramal.[47]
h.Tarbiyah
Badaniyyah
Tarbiyah badaniyyah yaitu usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi,
pengobatan dan olah raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang
dibutuhkan dan pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan
obat yang berdosis sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang
paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling
berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga adalah
sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan syarat harus
jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan di waktu yang sesuai
dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui bahwa olahraga adalah sarana
untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan utama.
Dalam tarbiyah riyadhiyyah (olah raga) harus
diperhatikan adab dan etikanya :
1.Orang
yang melakukan olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah.
2.Penuh
ketenangan dan ketentraman.
3.Memiliki
akhlak Islami yang utama.
4.Selalu
memohon taufik dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya.
5.Tidak
mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.[48]
Sarana yang tepat bagi tarbiyah riyadhiyah adalah
syiar (bentuk) ta’abuddiyah yang telah diperintahkan Allah atas
hamba-hamba-Nya, seperti: shalat, puasa, jihad dan haji. Jika semua ini
dikerjakan dengan ikhlas karena Allah maka semua itu akan bermanfaat bagi ruh
dan badan.
i.
Tarbiyah Jinsiyyah
Tarbiyah jinsiyyah (pendidikan sex) yaitu usaha untuk
melindungi seorang Muslim dari penyimpangan sexual, hingga terjaga dari hal-hal
yang diharamkan dan hanya cukup dengan apa yang dihalalkan.[49]
Adapun hal-hal yang mampu mengarahkan anak didik ke dalam
penjagaan yang seperti itu adalah:
1)Mengetahui
nilai sperma, bahwa ia tidak boleh dikeluarkan kecuali dalam rangka mencari
keturunan.
2)Barang
siapa yang tidak mampu menahan gejolak syahwatnya, sementara dia tidak mampu
menikah, maka wajib atasnya puasa, karena puasa adalah obat yang terbaik
baginya.
3)Menjauhkan
diri dari berlebih-lebihan dalam melakukan hubungan sexual karena hal itu akan
membahayakan kesehatannya.
Sedang sarana tarbiyah jinsiyyah bayak macamnya.
Sarana preventif berupa:
1)Memberi
peringatan dan penjelasan tentang bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh
perbuatan liwath (homosexual).
2)Menanamkan
kenyakinan akan adanya muraqabatullah (pengawasan Allah).
3)Memperhatikan
dan senantiasa menjaga pandangan mata, pikiran, pembicaraan (lisannya) dan
setiap langkahnya agar tidak tertuju sedikitpun ke arah yang diharamkan Allah Ta’ala.
4)Menjauhkan
anak-anaknya dari sifat malas, suka menganggur, dan tidak mau
bekerja.sebaliknya hendaknya para orang tua senantiasa menyibukkan anaknya
dengan sesuatu yang bermanfaat dalam mengisi waktunya.[50]
Sarana kuratif (penyembuhan), terdiri dari:
1)Meredam
gelora syhawat dengan mengurangi makanan yang mengandung unsur
pembangkit syahwat, dan meredam dorongan nafsu dengan puasa.
2)Mengendalikan
pandangan mata.
3)Menghibur
diri dengan hal-hal yang mubah sebagai pengganti dari hal-hal yang diharamkan.
4)Memikirkan
kerusakan-kerusakan yang akan terjadi di dunia, jika ia melampiaskan
syahwatnya.
5)Mengobati
ruh dengan menjalankan ibadah dan menguatkan pendorong-pendorong dien.[51]
Demikianlah sebagian obat mujarab dan sarana kuratif bagi
penyakit syahwat yang akan mematikan diri dan hati seseorang. Semua ini dengan
jelas diterangkan dan dikupas oleh seorang murabbi yang piawai, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah Rahimahullah.
4.Pendidik
dan Peserta Didik
a.Pendidik
1)Pengertian
Pendidik
Ibnu Qayyim menyebut pendidik dengan sebutan alim rabbani.
Beliau mengadopsi dari pemikiran para sahabat Nabi dan para Ulama. Beliau
menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah mu’allim yang
menekuni dunia pendidikan atau yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu,
sebagaimana seorang ayah mendidik anaknya. Juga pendapat Al-Wahidi, bahwa
kata rabbani dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish (pengkhususan)
sebagai ilmu yang mengajarkan syariat dan sifat-sifat Allah SWT. Beliau
juga menukil pendapat Al-Mubarrad, rabbani adalah yang mengajarkan ilmu,
mendidik manusia, dan memperbaiki mereka. Masih menurutnya, rabbani berasal
dari kata rabba-yurabbi-rabban, artinya yurabbihi (mendidik)
dinisbatkan pada kata tarbiyah (pendidikan) yang berarti mengembangkan
ilmu supaya menjadi sempurna, seperti pemilik modal yang ingin mengembangkan
hartanya dan orang-orang yang ingin mengembangkan anak-anaknya.
Jadi menurut Ibnu Qayyim, seorang alim tidak disifati akan
dengan rabbani, kecuali benar-benar mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.[52]
2)Adab-adab
Pendidik
1.Pendidik itu harus zuhud.
2.Memiliki
pemahaman yang mendalam tentang agama.
3.Mau
mendakwai manusia kepada cahaya petunjuk, bersabar serta mau menghidupkan hati
manusia dengan ilmu dan Al-Qur’an.
4.Pendidik
itu harus berhati-hati dalam memberi fatwa.
5.Termasuk
dari sifat-sifat pendidik ialah tasabbut (hati-hati) dalam menjawab
sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum ia menjawab atau membahasnya.
6.Pendidik
harus haus terhadap ilmu bahkan rela berpergian jauh dalam rangka mencari dan
menambah ilmunya.
7.Pendidik
harus selalu mengamalkan ilmunya.
8.Pendidik
harus memiliki sifat khasyatullah (takut kepada Allah)..
9.Pendidik
itu harus i rindu dan cinta kepada ilmu.
10.Pendidik
hendaknya senantiasa teratur dalam proses belajar dan mengajar.[53]
3) Adab
Murabbi Terhadap Murid
Sifat dan adab seorang murabbi terhadap anak didiknya antara
lain:
1.Kasih
sayang kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka, menganggap mereka sebagai
anaknya dan menjadikan dirinya sebagai bapaknya, yang demikian itu dalam rangka
menanamkan kepercayaan mereka kepada dirinya dan untuk menanamkan kebahagiaan
dalam diri anak kecil demi mencontoh Rasulullah Saw, seorang murabbi yang
paling agung.
2.Seorang
murabbi yang sukses ialah yang merealisasikan wasiat Rasulullah SAW mengenai
perintah agar selalu memperhatikan anak didiknya. Sesunggunya Nabi SAW
mewasiatkan kepada para pencari ilmu dengan kebaikan dan keutamaan.
3.Pendidik
juga bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah anak didiknya dan akhlak mereka
di majlis ilmunya.
4.Seorang
murabbi harus bersikap adil kepada anak didiknya sehingga dalam memberikan
pelajaran kepada mereka.
5.Seorang
murabbi hasrus mengenal karakter dan kecerdasan anak didiknya. Dan mau menerima
pendapat dari muridnya jika itu menambah ilmu si murabbi.
6.Kasih
sayang dan kelembutan seorang murabbi kepada anak didiknya, namun tidak berarti
menghalanginya untuk memberi hukuman kepada mereka jika memang hukuman
itu diperlukan, tetapi dengan syarat hukuman itu harus sesuai dengan kesalahan
dan kondisi anak, tidak sampai melampaui batas kewajaran.[54]
b.Peserta
Didik
1)Pengertian
Peserta Didik
Ibnu Qayyim menyebut peserta didik dengan sebutan mu’allim.
Menurut beliau mu’allim adalah orang-orang yang mencari ilmu
demi mendapatkan keselamatan dirinya sendiri. Orang seperti ini ikhlas dalam
mencari ilmu. Ia termasuk orang yang mempelajari hal-hal yang bermanfaat dan
mengerjakan apa yang dipelajarinya karena memang harus demikian jika orang yang
mencari ilmu mengharapkan keselamatan (keberhasilan).[55]
2)
Adab-adab Peserta Didik
a)
Akhlak Seorang Murid
1.Hendaklah
para pelajar menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangan
dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang.
2.Para
pelajar hendaklah mewaspadai tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (kesia-siaan)
dan majlis-majlis keburukan.
3.Hendaknya
para pelajar menjauhi bid’ah.
4.Hendaklah
para pelajar senantiasa menjaga waktunya.
5.Dan
janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
6.Hendaklah
mereka senantiasa menghiasi dirinya dengan kejujuran dan amanah ilmiah serta
mengetahui kemampuan diri sendiri dan tidak membanggakan diri di depan orang
lain dengan yang tidak dimilikinya.
7.Hendaklah
diketahui oleh setiap pelajar bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak
bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan.
8.Jika
para pelajar menghendaki ilmunya selalu terjaga dan tidak mudah hilang,
hendaklah ia segera mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
9.Wajib
atas para pelajar untuk memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus,
supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan dalam
pemikiran.
10.Pelajar
harus mempunyai sifat hikmah
11.Sepatutnya
para pelajar senantiasa mengingat pahala yang besar dalam mencari ilmu. Agar
menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu.[56]
b) Adab
Murid kepada Gurunya
1.Seorang
murid hendaklah selalu mulazamah (menyertai) gurunya berusaha
mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu adalah sunnah yang diikuti dan diambil
dari lisan para ulama.
2.Seorang
murid jika sudah mulazamah kepada seorang guru, hendaklah ia senantiasa
menuruti nasehat dan petunjuknya.
3.Wajib
atas seorang pelajar untuk melembutkan suaranya ketika bertanya dan tidak
sekali-kali mendebat gurunya dengan keras dan hendaklah senantiasa tekun
mendengarkan keterangannya dan serius di dalamnya.
Demikian sikap dan adab seorang murid terhadap gurunya, yang
semoga dengan adab dan kelemahlembutan seperti itu menjadikan sang guru rela
mengajarkan ilmu yang dimilikinya.[57]
- Lembaga Pendidikan Islam
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah
yang dijelaskan rambu-rambu dan manhajnya, bersandar kepada manhaj
Allah yang suci dan bersumber dari mata air-Nya yang tiada pernah kering:
kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah
tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu
berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang
menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga social kemasyarakatan terhadap
pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah
yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki
karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang
tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu
dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan
memberi.
Masjid juga memiliki peran agung dalam pendidikan
masyarakat. Lembaga pendidikan ini lebih besar perannya dalam mendidik
masyarakat dan memperluas wawasan keilmuwan mereka. Nabiyullah Muhammad telah
memperkenalkan kepada kita tentang urgensi masjid dalam pendidikan umat.
Sehingga pekerjaan pertama kali yang beliau kerjakan setelah hijrah ke Madinah
adalah membangun Masjid, sebagai tempat ibadah, balai pertemuan untuk
memusyawarahkan urusan umat, sekaligus sebagai tempat pendidikan. Baru setelah
itu, beliau mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar.
Di masa kecermelangan umat Islam masjid juga memiliki peran
aktif dan dinamis dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, di samping peran-perannya
yang lain. Jika masjid telah kehilangan sebagian besar perannya, maka hilang
pulalah risalah dan tujuan pembangunannya, dan tinggallah ia sebagai tempat
mendirikan shalat yang dibuka pintunya beberapa menit sebelum waktu shalat,
kemudian dikunci lagi setelah shalat selesai. Ketika peran masjid hanya sebatas
itu, maka setiap individu masyarakat menjadi laksana kawanan domba di tengah
malam yang sedang diguyur hujan deras. Kemudian di sisi lain kita
mendengar suara-suara gamang dari seminar-seminar dan diskusi-diskusi yang
bertemakan “Mengembalikan Peran Masjid” yang digelar di balik
gedung-gedung tinggi. Kita tetap berharap agar seminar-seminar tersebut bukan
hanya sekedar suara yang keluar dari lisan kemudian mampir di telinga tanpa ada
pembuktiannnya.
Sekali-kali jangan mengharap datangnya izzzah (kemuliaan)
di dunia. Kekuasaan di bumi dan kedududkan tinggi di sisi Allah, kecuali jika
kita benar-benar tahu tentang peranan masjid dalam dunia tarbiyah dan ta’lim,
kemudian kita fungsikan masjid tersebut dengan risalah pembangunannya dan kita
buka peluang seluas-luasnya bagi masjid tersebut untuk menyampaikan dan
melaksanakan perannya.
Jika keluarga, masjid, lembaga sosial kemasyarakatan
memiliki peran yang sangat besar dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, maka tak
kalah besarnya peran para ulama, karena di tangan para ulamalah perjalanan
tarbiyah dan ta’lim akan lancar.[58]
Simpulan
Pada akhir abad ke-tujuh hijriyah Ibnu Qayyim lahir dan
setelah menjadi ulama yang saat itu sudah masuk abad ke delapan hijriyah mulai
banyak menulis kitab diberbagai disiplin ilmu, secara keseluruhan menurut abu
zaid karya tulis Ibnu Qayyim berjumlah 96 kitab bahkan menurut Hasan Ibn Ali Al
Hijazy mendata karya Ibnu Qayyim sebanyak 97 buah.Karyanya yang berkaitan
dengan pendidikan antara lain Tuhfatul Maulud Bil Ahkamil Maudud, Miftah Dar As
Sa’adah, Fadhl Al Imu wa Ahlihi, Al Thib an Nabawy, Al Furusiyah,Madatij As
Salikin, Raudhatul Muhibbin,dan banyak bertebaran dalam karya-karyanyakajian
tentang masalah pendidikan dengan tidak spesifik.Hal ini sebagai bukti
perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan.
Untuk itu penting mengkaji tokoh
ini, hal ini dikarenakan untuk mengetahui bahwa Ibnu Qayyim bukan hanya tokoh
pembaharu dalam bidang aqidah dan fiqh atau sebagai ahli ushul fiqh, ahli
tafsir dan ahli bahasa, akan tetapi beliau juga sebagai tokoh pendidikan.Beliau
adalah guru besar yang menelurkan para ulama terkenal seperti Ad Dzahabi, Ibnu
Katsir, Ibnu Rajab dan lain-lain.
Daftar Pustaka
- Al Quran
- Hasan bin Ali Al Hasan Al
hijazy,Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah,( Jakarta:Al
Kautsar,2001 )
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Jawab Al
Kafie, Mengetuk pintu ampunan meraih berjuta anugerah, terjemahan Futuhal
Arifin (Jakarta:Gema Madinah Mekkah pustaka, 2007 )
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Miftah Dar
As Sa’adah, Kunci Surga Mencari Kebahagian dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin
dan Salim Rusydi Cahyono ( Solo:Tiga Serangkai,2009 )
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ighosatul
Lahfan min Mushadisis Syaithon ( kairo,2009)
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul
Maulud Bil Ahkamil Maudud,Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, Abu Umar Ba’asyir
Al Maedany, ( Solo:Pustaka Arofah,2006)
- Husein Bahresi,Al Jamius As Shahih,
Hadits Shihih Bukhori Muslim Pilihan,( Surabaya:Karya Utama)
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Fawaid,
Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, ( Jakarta:Pustaka Al Kautsar,2008)
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Thibbun
Nabawi,(Beirut:Maktabah Al Manar Al Islamiyah,1982)
- Ibnu Rajab, Dzail Thabaqah Hanabilah
- Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah
- Ibnu Hajar Al Asqalany, Durar
Kaminah
[1]
Dzail thabaqhat al hanabilah (IV:448)
[2]
Dzail thabaqhat al hanabilah (11:450)
[3] Al
Bidayah wa Nihayah (XIVI:1202)
[4] Al
Mu’zam Al Mukhtashar li suyuthi huruf mim
[5] Ad
durar al kaminah (IV:21)
[6]
Baghyah ad Du’a (1:63)
[7]
Miftahu darus sa’sadah,Ibnu Qayyim Al jauziyah
[8]
Manhaj tarbiyah ibnu qayyim,Hasan bin Ali Hasan Al Hijazy,terjemahan muzaidi
Hasbullah
[9]
Ighosatul lahfan min Mushadisis syaithan,Ibnu Qayyim
[10]
Manhaj tarbiyah ibnu qayyim
[11]
Miftahu darus sa’adah
[12]
Tuhfatul maudud fi ahkamil maulud,Ibnu Qayyim
[13]
ibid
[14]
ibid
[15]
ibid
[16]
Manhaj tarbiyah ibnu qayyim
[17]
ibid
[18]
Tuhfatul maudud bil akmamil maulud
[19]
Ighastaul lahfan min mashidis syaithan
[20]
ibid
[21]
Jawabul kafie,Ibnu Qayyim Al Jauziyah
[22]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[23]
ibid
[24]
Roh,Ibnu Qayyim
[25]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[26]
ibid
[27]
Mukhtashar Raudhatul Muhibbin,Ibnu Qayyim
[28]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[29]
Ibid
[30]
Ibid
[31]
Ibid
[32]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[33]
Ibid
[34]
Ibid
[35]
Tuhfatul Maudud Bil Akmamil Maudud
[36]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[37]
Ibid
[38]
Ibid
[39]
Maksudnya adalah mengosongkan diri dari akhlaq tercela kemudian mengisinya
dengan akhlaq mulia
[40]
Al Fawaid,Ibnu Qayyim
[41]
Hadist pilihan bukhari muslim,Husein Al Bahresi
[42]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[43]
Ibid
[44]
Al Fawaid
[45]
Ibid
[46]
Ibid
[47]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[48]
Ibid
[49]
Thibbun Nabawi,Ibnu Qayyim
[50]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[51]
Ibid
[52]
Miftah Daris Sa’adah
[53]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[54]
Ibid
[55]
Miftah daris sa’adah
[56]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[57] Ibid
[58]
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim