Senin, 25 Juni 2012

Ibnu Qayyim Sang Pendidik

Pendahuluan
Telah lama penantian kita untuk memperoleh pandangan-pandangan pemikiran tentang pendidikan dari para tokoh pendidikan islam secara lengkap. Banyak kesulitan yang dihadapi untuk memperoleh referensi yang lengkap, sehingga tulisan ini hanya akan menyajikan sepenggal biografi dan pokok-pokok pikiran dari  tokoh pendidikan islam tentang pendidikan.
A.Biografi Ibnu Qayyim Al Jauziyah
1. NAMA DAN NASAB BELIAU
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al Jauziyah.
Dia dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H. Dia tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah digelari Qayyim al-Jauziyah. Sebab itu pula sang anak dikenal di kalangan ulama dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
2. PERJUANGAN DALAM MENUNTUT ILMU
Dia memiliki keinginan yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tekad luar biasa dalam mengkaji dan menelaah sejak masih muda belia. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia tujuh tahun. Allah mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya akal luas, pikiran cemerlang, daya hapal mengagumkan, dan energi yang luar biasa. Karena itu, tidak mengherankan jika dia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat keras dan jiwa energis untuk menyembuhkan rasa haus dan memuaskan obsesinya terhadap ilmu pengetahuan. Sebab itu, dia menimba ilmu dari setiap ulama spesialis sehingga dia menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam dan mempunyai andil besar dalam berbagai disiplin ilmu.  
3. GURU-GURUNYA 
Ibnu Qayyim telah berguru pada sejumlah ulama terkenal. Mereka inilah yang memiliki pengaruh dalam pembentukan pemikiran dan kematangan ilmiahnya. Inilah nama guru-guru Ibnu Qayyim.
1. Ayahnya Abu Bakr bin Ayyub (Qayyim al-Jauziyah) di mana Ibnu Qayyim mempelajari ilmu faraid. Ayahnya memiliki ilmu mendalam tentang faraid.
2.Imam al-Harran, Ismail bin Muhammad al-Farra’, guru mazhab Hanbali di Dimasyq. Ibnu Qayyim belajar padanya ilmu faraid sebagai kelanjutan dari apa yang diperoleh dari ayahnya dan ilmu fikih.
3. Syarafuddin bin Taimiyyah, saudara Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
4. Badruddin bin Jama’ah. Dia seorang imam masyhur yang bermazhab Syafi’i, memiliki beberapa karangan
5. Ibnu Muflih, seorang imam masyhur yang bermazhab Hanbali. Ibnu Qayyim berkata tentang dia, “Tak seorang pun di bawah kolong langit ini yang mengetahui mazhab imam Ahmad selain Ibnu Muflih.”
6. Imam al-Mazi, seorang imam yang bermazhab Syafi’i. Di samping itu, dia termasuk imam ahli hadits dan penghafal hadits generasi terakhir.
7. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin al-Halim bin Abdussalam an-Numairi. Dia memiliki pengaruh sangat besar dalam kematangan ilmu Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim menyertainya selama tujuh belas tahun, sejak dia menginjakkan kakinya di Dimasyq hingga wafat. Ibnu Qayyim mengikuti dan membela pendapat Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya penyiksaan yang menyakitkan dari orang-orang fanatik dan taklid kepada keduanya, sampai-sampai dia dan Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke dalam penjara dan tidak dibebaskan kecuali setelah kematian Ibnu Taimiyyah.
4. DISIPLIN ILMUNYA
Disiplin ilmu yang didalami dan dikuasainya hampir meliputi semua ilmu syariat dan ilmu alat. Ibnu Rajab, muridnya, mengatakan, “Dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fikih dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf.”[1] Dia berkata juga, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih luas ilmunya dan yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an, Sunnah dan hakekat iman daripada Ibnu Qayyim. Dia tidak makshum tapi memang saya tidak melihat ada orang yang menyamainya.” [2]
Ibnu Katsir berkata, “Dia mempelajari hadits dan sibuk dengan ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu, utamanya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.”[3]
Adz-Dzahabi berkata, “Dia mendalami hadits, matan dan perawinya. Dia menggeluti dan menganalisa ilmu fikih. Dia juga menggeluti dan memperkaya khasanah ilmu nahwu, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.”[4]
Ibnu Hajar berkata, “Dia berhati teguh dan berilmu luas. Dia menguasai perbedaan pendapat para ulama dan mazhab-mazhab salaf.”[5]
As-Suyuthi berkata, “Dia telah mengarang, berdebat, berijtihad dan menjadi salah satu ulama besar dalam bidang tafsir, hadits, fikih, ushuluddin, ushul fikih, dan bahasa Arab.”[6]
Ibnu Tughri Burdi berkata, “Dia menguasai beberapa cabang ilmu, di antaranya tafsir, fikih, sastra dan tatabahasa Arab, hadits, ilmu-ilmu ushul dan furu’. Dia telah mendampingi Syaikh Ibnu Taimiyyah sekembalinya dari Kairo tahun 712 H dan menyerap darinya banyak ilmu. Karena itu, dia menjadi salah satu tokoh zamannya dan memberikan manfaat kepada umat manusia.”
5. MURID-MURIDNYA
Manusia mengambil manfaat dari ilmu Ibnu Qayyim. Karena itu, dia memiliki beberapa murid yang menjadi ulama terkenal. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Al-Burhan Ibnu Qayyim. Dia adalah putra Burhanuddin Ibrahim, seorang ulama nahwu dan fikih yang mempuni. Dia belajar dari ayahnya. Dia telah berfatwa, mengajar, dan namanya dikenal. Metodenya sama dengan sang ayah. Dia memiliki keahlian dalam bidang tatabahasa Arab. Karena itu, dia menulis komentar atas kitab Alfiyah IbniMalik. Kitab komentar (syarh) itu dia namakan Irsyad al-Salik ila Halli Alfiyah Ibni Malik.
2. Ibnu Katsir. Dia adalah Ismail ‘Imaduddin Abu al-Fida’ bin ‘Umar bin Katsir ad- Dimasyqi asy-Syafi’i, seorang imam hafizh yang terkenal.
3. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abu al-Faraj bin Ahmad bin Abdurrahman yang biasa digelar dengan Rajab al-Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
4. Syarafuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia adalah putra Abdullah bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih pengajaran setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
5. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali bin Tammam as-Subki Taqiyuddin Abu al-Hasan.
6. Adz-Dzahabi. Dia adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman bin Qayimaz adz- Dzahabi at-Turkmani asy-Syafi’i. Dia adalah seorang imam, hafizh yang memiliki banyak karangan dalam hadits dan Iain-lain.
 7.Ibnu Abdulhadi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah bin Ahmad bin Abdulhadi al-Hanbali. Dia adalah seorang hafizh yang kritis.
 8. An-Nablisi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah an-Nablisi al- Hanbali. Dia mempunyai beberapa karangan, di antaranya kitab Mukhtashar Thabaqat al-Hanabilah.
 9. Al-Ghazi. Dia adalah Muhammad bin al-Khudhari al-Ghazi asy-Syafi’i. Nasabnya sampai kepada Zubair bin Awwam r.a.
 10.Al-Fairuzabadi. Dia adalah Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i. Dia pengarang sebuah kamus dan karangan-karangan lain yang baik.
6. KARYA KARYANYA
Ibnu Qayyim adalah orang yang sangat banyak mengarang buku. Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi karya-karyanya secara teliti menjadi sulit. Inilah daftar buku-buku karangannya yang diberikan para ulama.
1. Al-Ijtihad wa at-Taqlid. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Miftah Dar As-Sa’adah.
2. Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah. Telah dicetak berulang kali.
3. Ahkam Ahl adz-Dzimmah. Telah dicetak dalam dua jilid yang ditahkik oleh Shubhi ash-Shalih.
4. Asma’ Muallafat Ibnu Taimiyyah. Sebuah disertasi yang diterbitkan atas tahkik Shalahuddin al-Minjid.
5. Ushul at-Tafsir. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Jala’ al-Afham.
6. Al-A’lam bi Ittisa ‘i Thuruq al-Ahkam. Dia menyebutkannya dalam kitab Ighatsah al-Luhfan.
7. A’lam al-Muaqqi ‘in ‘an Rabb al-Alamin. Telah dicetak berulang kali dalam empat jilid.
8. Ighatsah al-Luhfan min Mashadir asy-Syaithan. Telah berkali-kali dicetak dalam dua jilid.
9. Ighatsah al-Luhfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban. Sebuah disertasi yang telah dicetak atas tahkik Muhammad Jamaluddin al-Qasimi.
10. Iqtida’ adz-Dzikr bi Hushul al-Khair wa Daf’i asy-Syar. Ash-Shufdi menyebutkannya dalam kitab al-Wafi bi al-Wafiat (11/271) dan Ibnu Tughri Burdi dalam kitab al-Manhal ash-Shafi 011/62), sebuah manuskrip.
11. Al-Amali al-Makkiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Badai’u al- Fawaid.
12. Amtsal al-Qur’an. Telah tercetak.
13. Al-Ijaz. Pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun (1/206) dan al-Baghdadi dalam kitab Hadiah al-Arifin (11/158) menisbahkannya kepada Ibnu Qayyim.
14. Badai’ al-Fawaid. Tercetak dalam dua jilid.
15. Buthlan al-Kimiya’ min Arba’in Wajhan. Buku ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Qayyim dalam buku Miftah Dar as-Sa ‘adah.
16. Bayan al-Istidlal ‘ala Buthlan Isytirath Muhallil as-Sibaq wa an-Nidhal. Kitab ini telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab A’lam al- Muwaqqi’in. Dan juga ash-Shufdi dalam kitab al-Wafi bi al-Wafiyat (11/271) dan Ibnu Rajab dalam kitab Dzail Thabaqat al-Hanabilah (11/450) telah menyebutkannya dengan nama ad-Dalil ‘ala Istighnai al-Musabaqah ‘an at- Tahlil.
17. At-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an. Telah dicetak beberapa kali.
18. At-Tahbir lima Yahillu wa Yahrum min Libas al-Harir. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Zad al-Ma ‘ad.
19. At-Tuhfah al-Makkiyah. Dia menyebutkannya dalam berbagai tempat dalam kitab Badai’u al-Fawaid.
20. Tuhfah al-Maududfi Ahkam al-Maulud. Telah dicetak berulang kali.
21. Tuhfah an-Nazilin bi Jiwar Rabb al-Alamin. Dia menyebutkannya dalam kitab Madarij as-Salikin.
 22. Tadbir ar-Riasah fi al-Qawaid al-Hukmiyah bi adz-Dzaka’ wa al-Qarihah. Al- Baghdadi menyebutkannya dalam kitab al-Idhah al-Maknun fi adz-Dzail ‘ala Kasyf azh-Zhunun (1/271).
23. At-Ta’liq ‘ala al-Ahkam. Ibnu Qayyim mengisyaratkannya dalam kitab Jala’ al- Afham.
24. At-Tafsir al-Qayyim. Ini adalah tulisan terpisah-pisah dalam tafsir Syaikh Muhammad Uwais an-Nadawi dalam satu jilid. Tapi, dia tidak mencakup semua ucapan Ibnu Qayyim dalam tafsir. Namun, itu adalah suatu usaha yang patut mendapat pujian.
25. Tafdhil Makkah ‘ala al-Madinah. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam kitab Thabaqat al-Mufassirin (11/193), Ibnu al-’Ammad dalam kitab Syadzarat al-Dzahab (6/178) dan al-Sakhawi dalam kitab al-A’lam bi at- Taubikh (him. 280) telah menyebutkannya, tapi dengan nama Tafdhil Makkah.
26. Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Daud. Telah dicetak bersama dengan kitab Mukhtashar al-Mundziri dan syarahnya Ma ‘alim as-Sunan oleh al-Khatthabi dalam delapan jilid.
27. Al-Jami’ bain as-Sunan wa al-Atsar. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Badai’u al-Fawaid.
 28. Jala’u al-Afhamfi ash-Shalat wa as-Salam ‘ala Khair al-Anam. Telah dicetak berkali-kali di Mesir dan India.
 29. Jawabat Abidi ash-Shalban wa Anna ma Hum ‘alaih Din asy-Syaithan. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam kitab ath-Thabaqat (IV 93) dan Ibnu al-’Ammad dalam kitab asy-Syadzarat (VI/179) menyebutkannya.
30. Al-Jawab asy-Syafi li man Sa ‘ala ‘an Tsamarah ad-Du ‘a idza Kana ma Quddura Waqi’un. Asy-Syaukani menyebutkannya dalam kitabal-Badrath-Thali’(1V144).
31. Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah. Telah dicetak berkali-kali.
32. Al-Hamil, Hal Tahidhu am La. Ibnu Qayyim telah menyinggung masalah ini dalam kitab Tahdzib Sunan at-Tirmidzi.
33. Al-Hawi. Ahmad ‘Ubaid dalam kata pengantar kitab Rawudah al-Muhibbin berkata, “Ibnu Hajar al-Asqallani telah menyebutkannnya dalam kitab Fath al- Bari, juz XI”
34. Hurmah as-Sima’. Haji Khalifah dalam kitab Kasyf azh-Zhunun (1/650) dan al- Baghdadi dalam kitab Hadiyah al-Arifin (11/158) telah menyebutkannya.
35. Hukm Tarik ash-Shalah. Telah berkali-kali dicetak.
36. Hukm Ighmam HilalRamadhan. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam kitab ath-Thabaqat (11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam kitab asy- Syadzarat (VI/169) telah menyebutkannya.
37. Hukm Tafdhil Ba’d al-Awulad ‘ala Ba’d fi al-’Athiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Tahdzib as-Sunan.
38. Ad-Da’ wa ad-Dawa’. Telah dicetak berkali-kali dan dinamakan juga dengan al- Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an ad-Dawa’asy-Syafi.
39. Dawa’ al-Qalb. ‘Abdullah al-Jabburi menyebutkannya dalam Fihris Maktabat Awuqaf Baghdad (11/369). Ada juga naskah dengan tulisan tangan oleh al-Jabburi dengan nomor 4732. Kemungkinan besar naskah ini adalah naskah kitab ad- Da ‘ wa ad-Dawa’. Meskipun demikian, lebih baik kita menahan diri dalam mengambil kesimpulan sebelum membaca transkrip naskah tersebut. Wallahu a’lam.
40. Rabi’ul-Abrar fi-ashshalah ‘ala an-Nabi al-Mukhtar. Al-Baghdadi menye butkannya dalam kitab Hadiyah al-’Arifin (11/272) setelah menyebutkan kitab Jala’u al-Afham.
41. Ar-Risalah al-Halabiyahfi ath-Thariqah al-Muhammadiyah. Ini adalah kumpulan bait-bait syair. Muridnya ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272), Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal ash-Shafi yang masih dalam bentuk manuskrip (111/62), ad-Dawudi dalam ath-Thabaqat (IV93) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/861) menyebutkannya.
42. Ar-Risalah asy-Syafi’iyah fi Ahkam al-Mu’awwidzatain. Muridnya ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272) dan Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal as- Shafi (111/62) menyebutkannya.
43. Risalah Ibni Qayyim ila Ahad Ikhwanihi. Ditemukan satu naskahnya dalam kumpulan manuskrip perpustakaan al-Mahmudiyah di Madinah al-Munawwarah nomor 8/221 majami’ yang terdiri dari beberapa halaman dalam ukuran kecil.
44. Ar-Risalah at-Tabukiyah yang dicetak di Mesir dengan nama ini dan dicetak juga dengan judul Tuhfah al-Ahbab fi Tafsir Qawuluhi Ta ‘ala: wa ta ‘awanu ‘alalbirri wattaqwa wa la ta’awanu ‘alalitsm wal’udwan wa attaqullaha innallaha syadidul’iqab.
45. Raf’u at-Tanzil. Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/909) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) menyebutkannya.
46. Raf’u al-Yadainfi ash-Shalah. Muridnya Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/150), ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272), Ibnu Hajar dalam ad-Duraf al- Kaminah (IV/33), as-Suyuthi dalamBaghyah al-Wu’at (V63), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (1/911).
47. Raudhah al-Muhibbin wa Nazhah al-Musytaqin. Ibnu Qayyim menulisnya dalam perjalanan jauh dari tanah air dan perpustakaannya. Kitab ini telah dicetak berkali- kali.
48. Ar-Ruh. Telah tersebar di kalangan beberapa penuntut ilmu bahwa kitab ini bukan karangan Ibnu Qayyim atau dia menulisnya sebelum berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah.
Akan tetapi, orang yang menelaahnya akan menemukan kejelasan bahwa kitab ini adalah karangan Ibnu Qayyim dan ditulisnya setelah berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah. Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa Ibnu Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam kitabnya at-Tibyan. Ibnu Qayyim juga telah menyebutkan gurunya, Ibnu Taimiyyah kurang lebih sepuluh kali dalam kitab ar-Ruh dengan mengutip pendapat-pendapatnya serta menyebutkan pendapat yang dipilihnya.
Di samping itu, kita menemukan ada sekelompok tokoh autobiografer Ibnu Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam buku-buku karangan mereka. Mereka itu seperti al-Hafizh Ibnu Hajar dalam ad-Durar al-Kaminah (IV/23), as-Suyuthi dalam Baghyah al-Wu’at (1/63), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170), asy-Syaukani dalam al-Badr at-Thali’ (11/144), Haji Khalifah dalam Kasyfazh-Shunun (11/1421), al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) dan al-Alusi dalamJala’u al-’Ainain (him. 32).
49. Ar-Ruh wa an-Nafs. Ini bukan kitab ar-Ruh. Ibnu Qayyim telah menyebutkannya dalam kitab ar-Ruh, Mitah as-Sa’adah dan Jala’u al-Afham.
50. Zad al-Musafirin ila Manazil as-Su ‘ada ‘fi Hadyi Khatam al-Anbiya’. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/93), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169), dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
51. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-’Ibad. Ini telah dicetak berkali-kali di India, Mesir, Syiria dan terakhir diterbitkan dalam lima jilid.
52. As-Sunnah wa al-Bid’ah. Ahmad ‘Ubaid menyebutkannya dalam mukadimah kitab Rawudhah al-Muhibbin.
53. Sharh Asma’ al-Kitab al-Aziz. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/92) dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) menyebutkannya.
54. Syarh al-Asma’ al-Husna. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170) menyebutkannya.
55. Syifa’ al-Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadr wa al-Hikmah wa at-Ta’lil. Ini telah diterbitkan.
56. Ash-Shabr wa as-Sakan. Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1432) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158) telah menyebutkannya.
57. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkam Ahl al-Jahim. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169).
58. Ash-Shawaiqal-Munazzalah ‘alaaj-Jahmiyah waal-Mu’atthilah, satujilid. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169), asy-Syaukani dalam al-Badr at-Thali’ (117144), Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1083), al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) dengan nama ash-Shawaiq al-Mursalah. Kitab ini belum diterbitkan, yang telah diterbitkan hanya kitab al-Mukhtashar karya Muhammad bin al-Maushili.
59. At-Tha’un. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/93), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam Asy-Syadzarat (W196) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
60. Thibb al-Qulub. Az-Zarkali menyebutkannya dalam kitab al-A’lam (VI/280), Ahmad ‘Ubaid dalam mukadimah Rawudhah al-Muhibbin dan dia berkata, “Profesor Ma’luf menyebutkan bahwa ada satu naskahnya di Berlin.”
61. At-Thibb an-Nabawi. Ibnu Qayyim menyatukannya dengan kitab Zad al-Ma ‘ad, tapi ia telah diterbitkan secara terpisah.
62. Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa’adatain. Telah dicetak beberapa kali. Ibnu Qayyim menyebutkan kitab ini dalam berbagai kitab karangannya dengan judul Safar al-Hijratain.
63. At-Thuruq al-Hukmiyahfi as-Siyasah asy-Syar’iyah. Telah dicetak ulang beberapa kali.
64. Thariqah al-Bashair ila Hadiqah as-Sarair fi Nazhm al-Kabair. Kitab ini tercantum dalam indeks buku-buku Auqaf di Baghdad dan disebutkan bahwa buku ini ada naskahnya yang sangat berharga ditulis tahun 811 H.
65. Thalaq al-Haidh. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Tahdzib Sunan Abi Dawud.
66. ‘Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Syakirin. Ini telah dicetak berulang kali.
67. Aqd Muhkam al-Ahibba’ baina al-Kalam at-Thayyib wa al-Amal ash-Shalih al- Marfu’ ila Rabb as-Sama’. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/92), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
68. Al-Fatawa. Al-Alusi menyebutkannya dalam Jala ‘u al- Ainain.
69. Al-Fath al-Quds. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (II450), ad-Dawudi dalam at- Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
70. Al-Fath al-Makki. Ibnu Qayyim telah menyebutkannya dalam kitabnyaitoda’w al-Fawaid.
71. Al-Futuhat al-Qudsiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitabnyaMiftah Daras-Sa’adah.
72. Al-Farq bain al-Khillah wa al-Mahabbah wa Munazharah al-Khalil li Qawumih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450) dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
73. Al-Farusiyah. Kitab ini adalah ringkasan kitab al-Farusiyah asy-Syar’iyah. Dan, telah dicetak di Mesir.
74. Al-Farusiyah asy-Syar’iyah. Ibnu Tughri Burdi menyebutkannya dalam a\-Manhal ash-Shafi (E/hlm. 93
75. Fahdl ‘Iim wa Ahlih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450) dan ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93).
76. Fawadh fi al-Kalam ‘ala Hadits al-Ghamamah wa Hadits al-Ghazalah wa ad- Dhub wa Ghairih. Sebuah tulisan yang terdiri dari sembilan belas lembar dalam manuskrip perpustakaan azh-Zhahiriyah di Damaskus dengan nomor 5485. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam indeks perpustakaan halaman 100 juga menyebutkannya.
77. Al-Fawaid. Telah dicetak.
78. Qurrah ‘Uyun al-Muhibbin wa Rawudhah Qulub al-’Arifin. Al-Baghdadi menyebutkannya dalam Hidayah al-’Arifin (11/158).
79. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi an-Nahw. Pengarang Kasyf azh-Zhunun (11/1369).
80. Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi al-Intishar li al-Firqah an-Najiyah. Telah dicetak beberapa kali. Kitab inilah yang dikenal dengan al-Qashidah an-Nuniyah.
81. Al-Kabair. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawud dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (Vl/hlm. 168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
82. Kasyf al-Ghitha’ ‘an Hukm Sima’ al-Ghina’.
83. Al-Kalam at-Thayyib wa al-’Amalash-Shalih. Telah dicetak beberapa kali di Mesir dan India dengan judul al-Wabil ash-Shaib min al-Kalam at-Thayyib.
84. Al-Lamhahfiar-Rad ‘alaIbni Thalhah. Al-’Allamahal-Manawimenyebutkannya dalam Faidh al-Qadir (1/116).
85. Madarij as-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’bud wa Iyyaka Nasta’in. Ini telah dicetak dalam tiga jilid.
86. Al-Masail at-Tharablisiyah. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 449), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam asy- Syadzarat (VI/169).
87. Ma’ani al-Hurufwa al-Adawat. Ash-Shufdi menyebutkannya dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/271), Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal ash-Shafi (11/62) yang masih dalam bentuk manuskrip, ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), as-Suyuthi dalam Baghyah al-Wu’at (1/63) dan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/ 1729).
88. Miftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah al-’Hm wa al-Iradah. Inilah kitab kita sekarang ini. Ibnu Qayyim menyebutnya dalam mukadimah dengan judul Miftah Dar as-Sa ‘adah wa Mansyur Wilayah AM al- ‘Urn wa al-Iradah. Kitab ini telah dicetak dua kali, tapi tanpa tahkik. Cetakan ini, sepanjang pengetahuan kami, merupakan naskah tahkik pertama.
89. Al-Manar al-Muniffi ash-Shahih wa ad-Dhaif. Ini telah berulangkali dicetak.
90. Al-Mawurid ash-Shafi wa az-Zhil al-Wafi. Al-Baghdadi menyebutkannya dalam Hidayah al-’Arifin (11/159) dan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Thariq al-Hijratain.
91. Maulid an-Nabawi saw. Asy-Syaukani menyebutkannya dalam al-Badr ath-Thali’ (11/144) dan Shadiq al-Qannuji dalam at-Tajal-Mukallal. Al-Qannuji menyebutkan bahwa dia memiliki satu manuskrip dari kitab ini.
92. Al-Mahdi. Haji Khalifah menyebutkannya dalam Kasyf azh-Zhunun (11/1465).
93. Al-Muhadzab fi…. Haji Khalifah menyebutkannya dalam Kasyf azh-Zhunun (IV1914).
94. Naqd al-Manqul wa al-Mahk al-Mumayyiz bain al-Maqbul wa al-Mardud. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalamath-Thabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Arifin (11/159).
95. Nikah al-Muhrim. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad- Dawudi dalam ath-Thabaqat (11/193), dan Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
96. Nur al-Mu’min wa Hayatuh. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 450), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/178) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Arifin (11/159).
97. Hidayah al-HayarifiAjubah al-Yahud wa an-Nashara. Ini telah tercetak beberapa kali.
Selain itu, di sana ada juga artikel atau tulisan tersendiri karya Ibnu Qayyim yang diambil dari buku dan karangan-karangannya. Misalnya kitab Bulugh as-Sulfi Aqdhiyatil-Rasulsaw. yang
disarikan dari kitab A’lam al-Muwaqqi’in, Tafsir al-Fatihah dari kitabMadarijas-Salikin, Tafsir al-Mu’awwidzatain dari kitabBadaiul-Fawaid, ar-Risalah al-Qabriyahfi ar-Radd ‘ala MunkiriAdzabil-QabrMinaz-Zanadiqah wal-Qadariyah dari kitab ar-Ruh.
Sebagian orang tidak mampu membedakan antara Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan Ibnu al-Jauzi karena kemiripan nama. Kesalahan ini telah berakibat pada penisbahan beberapa kitab karya Ibnu al-Jauzi kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Kesalahan seperti itu terjadi karena kelalaian para penulis manuskrip atau karena perbuatan orang-orang yang sentimen terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Sebagai bukti adalah bahwa Ibnu al-Jauzi adalah Abdurrahman bin Ali al-Qursyi, wafat tahun 597 H. Meskipun dia adalah salah seorang ulama dari golongan Hanbali yang terkemuka dan banyak menulis, tapi dalam kajian masalah nama-nama dan sifat Allah SWT dia tidak mengikuti metode Imam Hanbal karena dia dalam hal ini menempuh metode takwil. Ini jelas bertentangan dengan metodologi Ibnu Qayyim sebab dia menempuh metode ulama salaf.
Di antara buku yang dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim, padahal sebenarnya itu adalah karya Ibnu al-Jauzi, adalah kitab Daf’u Syubahit-Tasybih bi Akaffit-Tanzih. Kitab ini banyak memuat takwil yang keliru. Karena itu, dia terjerumus dalam ta’thil guna melepaskan diri dari noda tasybih (penyerupaan).
Allah Tabaroka wa ta’ala telah memberikan petunjuk kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah sehingga dia mengikuti langkah ulama salaf. Sebab itu, dia selamat dari noda tasybih dan bahaya
takwil. Dia menempuh cara ulama salaf di mana dia hanya menetapkan apa yang ditetapkan Allah SWT untuk diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan penyimpangan, tasybih dan ta ‘thil.
Demikian pula kitab Akhbar an-Nisa’. Kitab ini dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah, padahal kitab ini dikenal sebagai karya Ibnu al-Jauzi.
7. WAFATNYA
Kitab-kitab biografi sepakat bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat pada malam Kamis setelah azan Isya’, tanggal 13 Rajab tahun 751H. Dia dishalati setelah shalat Zhuhur keesokan harinya di Mesjid al-Umawi, kemudian di Mesjid Jarah. Dan, dimakamkan di perkuburan al-Bab ash-Shaghir dekat makam ibunya di Damaskus.
B.     KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Sekarang  tibalah  saatnya kita mengkaji pemikiran Ibnu Qayyim mengenai tarbiyah  yang Insya Allah dengan menelaah pandangan beliau akan kita temukan perbandingan antara pemikiran beliau dengan pemikiran pakar tarbiyah lainnya baik segi kesamaan maupun perbedaannya.
Beliau memaparkan pemikirannya mengenai tarbiyah ini, ketika sedang mengomentari tafsiran Ibnu Abbas Ra terhadap kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah, beliau berkata, “ Tafsiran Ibnu Abbas Ra ini dikarenakan bahwa kata Rabbani itu pecahan dari kata tarbiyah yang artinya mendidik manusia dengan ilmu sebagaimana seorang bapak mendidik anaknya. “ kemudian setelah itu beliau menukil pendapat Al-Mubarrad Ra yang  mengatakan, “ bahwa Rabbani adalah seorang  yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. “ Selanjutnya beliau berkata, “Kata Rabbani diartikan dengan makna seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat) yaitu seorang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi  sempurna sebagaimana orang yang mempunyai harta merawat hartanya agar bertambah dan merawat manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya.[7]
Jika kita perhatikan dengan seksama pemikiran  Ibnu Qayyim Rahimahullah mengenai tarbiyah ini, maka bisa kita simpulkan bahwa pemikiran beliau tidak jauh dari makna tarbiyah secara bahasa dan tidak pula berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh sebaginan pakar tarbiyah ini, hal sedemikian tidak terlalu mengherankan karena beliau adalah seorang murabbi sejati yang benar-benar paham tentang hakekat tarbiyah dan mengerti bagaimana seharusnya tarbiyah itu dipraktekkan.[8]
Tarbiyah menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah  (cara) mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “ Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya.[9]
Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah  seperti  ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam  mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya.[10]
2.Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak  jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala  tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Jadi ibadah kepada Allah  adalah  tujuan  utama diciptakannya seorang hamba. Allah Ta’ala  berfirman,
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ    
Dan saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat:56).[11]
Demikianlah beberapa tujuan tarbiyah menurut pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah yang secara umum dapat kita simpulkan dan kita klasifikasikan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut ini:
a. Ahdaf Jismiyah ( tujuan yang berkaitan dengan badan)
Maksudnya diadakan tarbiyah adalah untuk menjaga kesehatan badan anak didik, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah kepada orang tua[12]
“ Hendaklah bayi yang baru dilahirkan itu disusukan kepada orang lain, karena air susu ibu di hari pertama melahirkan sampai hari ketiga masih bercampur dan kurang bersih serta masih terlalu kasar bagi sang bayi yang hal ini akan membahayakan sang bayi.”
Termasuk dari ahdaf jismiyah  yang  hendak diwujudkan oleh kerja tarbiyah  adalah  selalu memperhatikan anak dan mengawasinya dalam  hal  makan dan minumnya, sebagiman yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimullah berikut ini,[13]
“Hendaklah para orang tua itu tidak membiarkan  anak-anaknya mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu demi menjaga terbentuknya pencernaannya dan keteraturan cara kerjanya, yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya (teraturnya) kerja pencernaan tersebut. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan minuman akan mengurangi penyakit, karena dalam tubuh tidak terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
b. Ahdaf Akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akhlak)
Menurut  Ibnu  Qayyim Rahimullah, kebahgiaan akan bisa diraih dengan terhiasinya diri dengan akhlak mulia dan terjauhkannya dari akhlak  buruk. Oleh  karena itu beliau sangat wanti-wanti menasehati para murabbi (pendidik) agar tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berkhianat dan berbohong, sebab khianat dan kebohongan akan merusak bangunan kebahagiaan jiwanya, sebagaimana pernyataan beliau kepada orang tua berikut ini,[14]
Jika sekali saja terbuka kesempatan bagi seorang anak untuk berbuat bohong dan khianat, maka akan hancurlah kebahagiaannya, baik di dunia maupun di akhirat, dan anak tersebut akan terhalangi untuk mendapatkan seluruh kebaikan yang semestinya dapat diraihnya, jika ia tidak berbohong dan berkhianat.”
c. Ahdaf  Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal)
Tarbiyah yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Ibnu Qayyim Rahimullah menyebutkan masalah ini dalam sebuah pernyataan berikut ini,[15]“Yang perlu diperhatikan oleh para murabbi adalah agar mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berinteraksi dengan sesuatu yang membahayakan dan merusak akalnya, seperti; minum-minuma yang memabukkan atau narkoba, dan hendaknya anak didik dijauhkan dari pergaulan denganorang-orang yang dikhawatirkan akan merusak jiwanya, dan dijauhkan dari melakukan pembicaraan dan memegang sesuatu yang akan merusak jiwanya, sebab semua itu akan menjatuhkannya ke lembah kehancuran.”
Ketahuilah, jika sekali saja terbuka kesempatan bagi sang anak untuk melakukan perbuatan tersebut, maka akan terbiasa melakukan perbuatan yang hina dan kotor (seperti; zina, mucikari, dan sebagainya), padahal tidaka akan masuk surga orang-orang yang berbuat zina.”[16]
d. Ahdaf Maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan skill)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah, tarbiyah harus memiliki tujuan menyingkap bakat dan keahlian (skill) yang tersimpan dalam diri seorang anak. Kemudian setelah diketahui bakat anak didiknya, maka segera diadakan pembinaan dan pengarahan kepada bidang-bidang yang sesuai dan baik yang akan mewujudkan kemaslahatan diri dan umat manusia secara keseluruhan.[17]Apa yang menjadi pemikiran beliau ini bisa kita lihat dalam sebuah pernyataanya berikut ini, beliau berkata, “Di antara hal yang seharusnya diperhatikan adalah potensi dan bakat  yang dimiliki oleh masing-masing anak. Sebab ia dilahirkan dengan membawa bakat masing-masing. Asal jangan menggiring anak kepada sesuatu yang diharamkan syariat. Jika anak dipaksa melakukan atau menekuni sesuatu yang tidak menjadi bakat atau kecenderungannya, maka ia tidak akan berhasil, bahkan bias kehilangan bakatnya.”[18]
3.Sasaran Pendidikan Islam
Adapun sasaran tarbiyah atau yang lebih tepat dikatakan sisi-sisi yang  hendak digarap oleh tarbiyah menurut murabbi yang agung ini sangat banyak macamnya, diantaranya adalah: tarbiyah imaniyyah, tarbiyah  ruhyiyah, tarbiyah fikriyyah, tarbiyah ‘athifiyyah (perasaan), tarbiyah khulukiyyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyyah, tarbiyah iradiyyah (kehendak), tarbiyah badaniyyah dan tarbiyah jinsinyyah.
a.Tarbiyah Imaniyyah
Tarbiyah imaniyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim berikut ini,[19]
“Hati dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu berkembang dan bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Jadi, tarbiyah imaniyah ialah usaha untuk menjadikan anak didik sebagai seorang yang patuh mengerjakan seluruh perintah Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.[20]
Berangkat dari pengertian tarbiyah imaniyah di atas, maka kita dapat menentukan ghayah (tujuan) dari tarbiyah imaniyah, yaitu sebagai berikut:
1.Menghambakan manusia hanya kepada Allah SWT, karena Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
2.Mewujudkan pribadi-pribadi shalih yang hanya beriman kepada Allah Ta’ala  dan memiliki seperangkat ilmu yang bermanfaat, kemudian ilmu tersebut dibuktikan dengan amal shalih.
3.Mengakui bahwa ubudiyah yang dilakukan dengan ketundukan dan rendah diri yang sempurna dengan kecintaan yang sempurna pula adalah salah satu tuntutan uluhiyah Allah Ta’ala.[21]
4.Menjaga dan melindungi lisan, anggota badan dan detak hati dari setiap sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala .
5.Menjadikan seluruh gerak dan aktivitas seseorang selaras dengan ridha Allah SWT.[22]
Sedangkan sarana-sarana dalam mendidik iman menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah sebagai berikut:
a)Mentadaburi tanda-tanda kekuasaan Allah dan Dzat Pencipta serta luasnya Rahmat dan Hikmah perbuatan-Nya.
b)Mengingat kematian.
c)Mendalami makna ibadah, bahwa ibadah adalah salah satu sarana tarbiyah imaniyah.[23]
b.Tarbiyah Ruhiyyah
Ibnu Qayyim  Rahimullah  memiliki perhatian  yang besar pada tarbiyah  ruhiyah. Hal ini terbukti dari beberapa kitab  karangannya ada yang berjudul “Ar-Ruh” yang khusus membahas seluk beluk ruh atau dari lembaran-lembaran kitab karangannya yang lain beliau menyelipkan di dalamnya bahasan Ar-Ruh.
Ibnu Qayyim mendefinisikan ruh ini dengan berkata,[24] “Ruh adalah jism (dzat) yang bentuk dan hakekatnya berbeda dengan jism manusia yang bisa ditangkap indera, ia adalah jism yang bersifat cahaya (nurani) yangs angat tinggi, ringan, bergerak dan melebur di dalam badan dan seluruh anggotanya, ia mengalir di dalam badan, layaknya aliran air di sungai atau layaknya api di dalam bara
Jadi jelaslah bahwa ruh menurut Ibnu Qayyim adalah benda (jism) yang tercipta, yang memiliki bentuk dan dzat sendiri dan memiliki sifat dan kekhususan yang berbeda dengan badan, ia tidak bisa ditangkap panca indera hanya efek kerja dan atsarnya pada badan manusia yang bisa disaksikan.[25]
Ibnu Qayyim Rahimullah berpendapat bahwa kesempurnaan ruh (nafs) yang menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifahnya tentang Allah, mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh perintah-Nya. Yang demikian itu adalah tujuan tertinggi dari tarbiyah ruhiyah menurut Ibnu Qayyim Rahimullah.[26]
Sarana-sarana dalam mendidik ruh adalah sebagai berikut:
1.Memperdalam iman kepada hal-hal yang ghaib.
2.Kembali kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya.
3.Mencintai Allah Dzat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada. Bahkan kesempurnaan nikmat dan kebahagiaan ruh hambanya ada dalam mahabatullah.[27]
4.Dzikir mengingat Allah dan mendirikan shalat.
5.Melakukan munasabah (Introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur.[28]
c.Tarbiyah Fikriyah
Akal adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota tubuh dan yang  menentukan baik dan  rusaknya badan, jika ia baik maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja, sedang ruh, panca indera dan seluruh anggota badan adalah sebagai rakyatnya. Jika akal  rusak maka kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”.[29]
Sedangkan yang dimaksud dengan tarbiyah fikriyyah adalah mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyah orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiridalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya.[30]
Ibnu Qayyim Rahimullah banyak memiliki metode dan cara untuk mendidik pikiran.[31] Diantaranya adalah:
a)Dengan mentadabburi dan memperhatikan makhluk-makhluk Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan mata bashirah untuk mengetahui keagungan-Nya, kebesaran kekuasaan-Nya dan kelembutan kebijaksanaan-Nya.
b)Dengan mentadabburi ayat-ayat Allah Ta’ala yang terbaca, yaitu Al-Qur’an dan mentadabburi syari’at-Nya yang diturunkan kepada manusia.
c)Dengan menjalani semua perintah Allah dan istiqamah di atas manhaj-Nya.
d)Meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya rintangan yang menghalangi perkembangan pikiran, dan mewaspadai bahaya maksiat.
e)Bukti perhatian Ibnu Qayyim terhadap perkembangan akal manusia adalah celaan dan pengingkaran beliau terhadap budaya taklid, karena taklid ini akan membekukan akal dan pikiran dan mengosongkan dari aktivitas yang bermanfaat.
d.Tarbiyah ‘Athifiyyah
Tarbiyah ‘athifiyyah adalah sebuah tarbiyah yang mengarahkan setiap perbuatan dan perkataan individu ke arah yang diridhai Allah, sebagai realisasi dari firman-Nya,
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ  
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 162).
Demikian juga bahwa tarbiyah ‘athifiyah ini mendorong manusia agar mengarahkan perasaan cintanya hanya kepada Allah Azza Wajalla,  hingga ia mampu merangkak naik bersama perasaan dan instinknya ke derajat yang menjadikannya sebagai wali Allah Ta’ala.[32]
Ada beberapa metode dan cara untuk memperdalam cinta kepada Allah dan ubudiyah kepada-Nya di dalam hati, diantaranya adalah:
a)Menanamkan perasaan bahwa seorang hamba sangat membutuhkan Allah, bukan yang lain..
b)Beribadah kepada Allah dengan nama-Nya yang Maha awal, Yang Maha akhir, Yang Maha zhahir dan Maha batin.
c)Menanamkan perasaan bahwa dia sangat butuh kepada hidayah Allah dan menanamkan kefakiran kepada-Nya.
d)Menanamkan pengetahuan dan kesadaran  atas nikmat-nikmat Allah kepada manusia.
e)Menanamkan ilmu pengetahuan bahwa cinta kepada Allah adalah tuntutan iman.[33]
e.       Tarbiyah Khulukiyah
Yang dimaksud dengan tarbiyah khulukiyah adalah melatih anak untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang dengannya sang anak mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari jeratan akhlak yang buruk.[34] Ketahuilah sesunguhnya seorang anak itu berkembang di atas apa yang dibiasakan oleh murabbi terhadapnya di masa kecilnya.[35]
Menurut Ibnu  Qayyim, sumber tarbiyah khulukiyah itu adalah: pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), sebuah kitab yang menjadi panduan dalam pendidikan umat yang telah disifati Allah sebagai sebaik-baik umat,[36] firman-Nya,
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9
Kalian adalah sebaik-baik umat yang yang dikeluarkan untuk manusia.” (Al-Imran: 110)
Kedua, sumber mata air yang menjadi penyiram bagi ladang tarbiyah khulukiyah adalah Sunnah Rasulullah sekaligus sirah perjalanan beliau yang merupakan praktek amali bagi ajaran Islam. Rasulullah Saw teladan dalam berakhlak mulia dan beliau adalah puncak semua akhlak mulia.[37]Tujuan tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi. Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.[38]
Termasuk dari metode tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah:
1.Uslub takhliyah (pengosongan) dan tahalliyah (menghiasi diri)[39]
2.Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik dan al-birr
3.Uslub pelatihan dan pembiasaan
4.Memberi gambaran yang buruk tentang akhlak tercela
5.Menunjukkan buah yang baik berkat akhlak yang baik.[40]
f.Tarbiyah Ijtimaiyyah
Tarbiyah  ijtima’iyyah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari).[41]
Tarbiyah ijtima’iyyah yang baik, menurut Ibnu Qayyim, ialah yang selalu memperhatikan perasaan orang lain, mengajak mereka agar  ikut membahagiakan dan menyenangkan hati saudara-saudaranya.
Kemudian beliau menyebutkan tentang hak-hak bermasyarakat, di antaranya adalah bahwa orang yang sakit itu memiliki hak untuk diziarahi. Termasuk faedah  ziarah yang manfaatnya kembali kepada orang yang sakit adalah, ziarah mampu  mengembalikan kekuatannya, membangkitkan kebahagiaan jiwanya, menyenangkan hatinya dan mendatangkan sesuatu yang menggembirakan orang yang sakit.[42]
Ibnu Qayyim berwasiat kepada orang tua dan murabbi yang bertangung  jawab atas urusan seorang anak agar mereka menjauhkan anak-anaknya dari tempat-tempat yan tersebar di dalamnya kemungkaran dan kesesatan, karena sesunguhnya seorang anak itu dalam keadaan fitrahnya, suci jiwanya dan bersih hatinya ibarat lembaran  putih yang  bisa ditulisi apa saja di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya berinteraksi dengan masyarakat  itu  tidak  berbahaya, namun terlalu lama  membiarkan anak berinteraksi dengan masyarakat akan dapat mendatangkan kerugian yang besar kepadanya dan terhalangi untuk mendapatan kebaikan dunia dan akhirat.
Demikianlah dasar-dasar bermasyarakat yang agung, yang jika setiap individu masyarakat mau mempraktekkannya, niscaya akan tersebar kebersamaan dan persaudaraan serta keamanan di semua lini masyarakat tersebut, dan niscaya ikatan masyarakat tersebut terjalin kuat sebagaiannya menguatkan sebagian yang lain dan saling menopang antara sebagian yang lain.[43]
g.Tarbiyah Iradiyyah (Kehendak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kedudukan iradah (kehendak)  bagi  jiwa manusia sangat agung  dan  menentukan,  karena iradah berperan sebagai  mesin  penggerak untuk beramal. Dan kebahagiaan itu terbangun di atas dua pondasi, yaitu: ilmu dan iradat.[44]
Ibnu  Qayyim  menjelaskan bahwa iradah itu bermacam-macam dan ada awalnya, sedang awal bagi iradah menurut beliau adalah al-ham (kecenderungan). Adapun tingkatan iradah dan macam-macamnya ini sesuai dengan variabel dan dorongannya,  jika sebab dan dorongannya adalah mahabbatullah dan keinginan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, maka ia merupakan tingkatan iradah yang tertinggi, dan  jika dorongan  itu hanya sekedar  nafsu dan keinginan sang  pemiliknya (manusia) maka ia adalah iradah yang paling rendah.[45]
Tanda iradah yang sehat adalah ketika seseorang memasuki waktu pagi dan petang, sedang dalam ahlinya tidak terlintas selain kehendak untuk menghadap selain Allah Ta’ala. Sedangkan Iradah yang rusak akan  lahir dalam bentuk penyakit ilmu, pengetahuan, dan  keahlian  yang  berlawanan  dengan syari’at Allah.[46]
Adapun sarana tarbiyah iradiyyah ini banyak sekali macamnya, di antaranya mencintai sesuatu yang diridahi, karena cinta adalah pendorong yang kuat yang menghantarkan seseorang kepada kekasih yang diiradahi dan dicintai, tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam meniti jalan menuju yang diiradahi serta sabar di dalamnya, melatih jiwa agar bersungguh-sungguh dalam beramal.[47]
h.Tarbiyah Badaniyyah
Tarbiyah badaniyyah yaitu usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan dan olah raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan obat yang berdosis sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga adalah sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan syarat harus jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan di waktu yang sesuai dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui bahwa olahraga adalah sarana untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan utama.
Dalam tarbiyah riyadhiyyah (olah raga) harus diperhatikan adab dan etikanya :
1.Orang yang melakukan olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah.
2.Penuh ketenangan dan ketentraman.
3.Memiliki akhlak Islami yang utama.
4.Selalu memohon taufik dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya.
5.Tidak mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.[48]
Sarana yang tepat bagi tarbiyah riyadhiyah adalah syiar (bentuk) ta’abuddiyah yang telah diperintahkan Allah atas hamba-hamba-Nya, seperti: shalat, puasa, jihad dan haji. Jika semua ini dikerjakan dengan ikhlas karena Allah maka semua itu akan bermanfaat bagi ruh dan badan.
i.     Tarbiyah Jinsiyyah
Tarbiyah jinsiyyah (pendidikan sex) yaitu usaha untuk melindungi seorang Muslim dari penyimpangan sexual, hingga terjaga dari hal-hal yang diharamkan dan hanya cukup dengan apa yang dihalalkan.[49]
Adapun hal-hal yang mampu mengarahkan anak didik ke dalam penjagaan yang seperti itu adalah:
1)Mengetahui nilai sperma, bahwa ia tidak boleh dikeluarkan kecuali dalam rangka mencari keturunan.
2)Barang siapa yang tidak mampu menahan gejolak syahwatnya, sementara dia tidak mampu menikah, maka wajib atasnya puasa, karena puasa adalah obat yang terbaik baginya.
3)Menjauhkan diri dari berlebih-lebihan dalam melakukan hubungan sexual karena hal itu akan membahayakan kesehatannya.
Sedang sarana tarbiyah jinsiyyah bayak macamnya. Sarana preventif berupa:
1)Memberi peringatan dan penjelasan tentang bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan liwath (homosexual).
2)Menanamkan kenyakinan akan adanya muraqabatullah (pengawasan Allah).
3)Memperhatikan dan senantiasa menjaga pandangan mata, pikiran, pembicaraan (lisannya) dan setiap langkahnya agar tidak tertuju sedikitpun ke arah yang diharamkan Allah Ta’ala.
4)Menjauhkan anak-anaknya dari sifat malas, suka menganggur, dan tidak mau bekerja.sebaliknya hendaknya para orang tua senantiasa menyibukkan anaknya dengan sesuatu yang bermanfaat dalam mengisi waktunya.[50]
Sarana kuratif (penyembuhan), terdiri dari:
1)Meredam gelora syhawat dengan mengurangi   makanan yang mengandung unsur pembangkit syahwat, dan meredam dorongan nafsu dengan puasa.
2)Mengendalikan pandangan mata.
3)Menghibur diri dengan hal-hal yang mubah sebagai pengganti dari hal-hal yang diharamkan.
4)Memikirkan kerusakan-kerusakan yang akan terjadi di dunia, jika ia melampiaskan syahwatnya.
5)Mengobati ruh dengan menjalankan ibadah dan menguatkan pendorong-pendorong dien.[51]
Demikianlah sebagian obat mujarab dan sarana kuratif bagi penyakit syahwat yang akan mematikan diri dan hati seseorang. Semua ini dengan jelas diterangkan dan dikupas oleh seorang murabbi yang piawai, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah.



4.Pendidik dan Peserta Didik
a.Pendidik
1)Pengertian Pendidik
Ibnu Qayyim menyebut pendidik dengan sebutan alim rabbani. Beliau mengadopsi dari pemikiran para sahabat Nabi dan para Ulama. Beliau menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah mu’allim yang menekuni dunia pendidikan atau yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu, sebagaimana seorang ayah mendidik anaknya.  Juga pendapat Al-Wahidi, bahwa kata rabbani dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish (pengkhususan) sebagai ilmu yang mengajarkan syariat  dan sifat-sifat Allah SWT. Beliau juga menukil pendapat Al-Mubarrad, rabbani adalah yang mengajarkan ilmu, mendidik manusia, dan memperbaiki mereka. Masih menurutnya, rabbani berasal dari kata rabba-yurabbi-rabban, artinya yurabbihi (mendidik) dinisbatkan pada kata tarbiyah (pendidikan) yang berarti mengembangkan ilmu supaya menjadi sempurna, seperti pemilik modal yang ingin mengembangkan hartanya dan orang-orang yang ingin mengembangkan anak-anaknya.
Jadi menurut Ibnu Qayyim, seorang alim tidak disifati akan dengan rabbani, kecuali benar-benar mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.[52]
2)Adab-adab Pendidik
1.Pendidik itu harus zuhud.      
2.Memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama.
3.Mau mendakwai manusia kepada cahaya petunjuk, bersabar serta mau menghidupkan hati manusia dengan ilmu dan Al-Qur’an.
4.Pendidik itu harus berhati-hati dalam memberi fatwa.
5.Termasuk dari sifat-sifat  pendidik ialah tasabbut (hati-hati) dalam menjawab  sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum  ia menjawab atau membahasnya.
6.Pendidik harus haus terhadap ilmu bahkan rela berpergian jauh dalam rangka mencari dan menambah ilmunya.
7.Pendidik harus selalu mengamalkan  ilmunya.
8.Pendidik harus memiliki sifat khasyatullah (takut kepada Allah)..
9.Pendidik itu harus i rindu dan cinta kepada ilmu.
10.Pendidik hendaknya senantiasa teratur dalam proses belajar dan mengajar.[53]
3) Adab Murabbi Terhadap Murid
Sifat dan adab seorang murabbi terhadap anak didiknya antara lain:
1.Kasih sayang kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka, menganggap mereka sebagai anaknya dan menjadikan dirinya sebagai bapaknya, yang demikian itu dalam rangka menanamkan kepercayaan mereka kepada dirinya dan untuk menanamkan kebahagiaan dalam diri anak kecil demi mencontoh Rasulullah Saw, seorang murabbi yang paling agung.
2.Seorang murabbi yang sukses ialah yang merealisasikan wasiat Rasulullah SAW mengenai perintah agar selalu memperhatikan anak didiknya.  Sesunggunya Nabi SAW mewasiatkan kepada para pencari ilmu dengan kebaikan dan keutamaan.
3.Pendidik  juga bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah anak didiknya dan akhlak mereka di majlis ilmunya.
4.Seorang murabbi harus bersikap adil kepada anak didiknya sehingga dalam memberikan pelajaran kepada mereka.
5.Seorang murabbi hasrus mengenal karakter dan kecerdasan anak didiknya. Dan mau menerima pendapat dari muridnya jika itu menambah ilmu si murabbi.
6.Kasih sayang dan kelembutan seorang murabbi kepada anak didiknya, namun tidak berarti menghalanginya untuk memberi  hukuman kepada mereka jika memang hukuman itu diperlukan, tetapi dengan syarat hukuman itu harus sesuai dengan kesalahan dan kondisi anak, tidak sampai melampaui batas kewajaran.[54]
b.Peserta Didik
1)Pengertian Peserta Didik
Ibnu Qayyim menyebut peserta didik dengan sebutan  mu’allim. Menurut beliau mu’allim adalah orang-orang yang mencari ilmu demi mendapatkan keselamatan dirinya sendiri. Orang seperti ini ikhlas dalam mencari ilmu. Ia termasuk orang yang mempelajari hal-hal yang bermanfaat dan mengerjakan apa yang dipelajarinya karena memang harus demikian jika orang yang mencari ilmu mengharapkan keselamatan (keberhasilan).[55]
2) Adab-adab Peserta Didik
a) Akhlak Seorang Murid
1.Hendaklah para pelajar menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang.
2.Para pelajar hendaklah mewaspadai tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (kesia-siaan) dan majlis-majlis keburukan.
3.Hendaknya para pelajar menjauhi bid’ah.
4.Hendaklah para pelajar senantiasa menjaga waktunya.
5.Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
6.Hendaklah mereka senantiasa menghiasi dirinya dengan kejujuran dan amanah ilmiah serta mengetahui kemampuan diri sendiri dan tidak membanggakan diri di depan orang lain dengan yang tidak dimilikinya.
7.Hendaklah diketahui oleh setiap pelajar bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan.
8.Jika para pelajar menghendaki ilmunya selalu terjaga dan tidak mudah hilang, hendaklah ia segera mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
9.Wajib atas para pelajar untuk memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan dalam pemikiran.
10.Pelajar harus mempunyai sifat hikmah
11.Sepatutnya para pelajar senantiasa mengingat pahala yang besar dalam mencari ilmu. Agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu.[56]
b) Adab Murid kepada Gurunya
1.Seorang murid hendaklah  selalu mulazamah (menyertai) gurunya berusaha mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu adalah sunnah yang diikuti dan diambil dari lisan para ulama.
2.Seorang murid jika sudah mulazamah kepada seorang guru, hendaklah ia senantiasa menuruti nasehat dan petunjuknya. 
3.Wajib atas seorang pelajar untuk melembutkan suaranya ketika bertanya dan tidak sekali-kali mendebat gurunya dengan keras dan hendaklah senantiasa tekun mendengarkan keterangannya dan serius di dalamnya.
Demikian sikap dan adab seorang murid terhadap gurunya, yang semoga dengan adab dan kelemahlembutan seperti itu menjadikan sang guru rela mengajarkan ilmu yang dimilikinya.[57]


  1. Lembaga Pendidikan Islam
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan  rambu-rambu dan  manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber dari mata air-Nya yang tiada pernah kering: kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah  tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga social kemasyarakatan terhadap pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan memberi.
Masjid juga memiliki peran agung dalam pendidikan masyarakat. Lembaga pendidikan ini lebih besar perannya dalam mendidik masyarakat dan memperluas wawasan keilmuwan mereka. Nabiyullah Muhammad telah memperkenalkan kepada kita tentang urgensi masjid dalam pendidikan umat. Sehingga pekerjaan pertama kali yang beliau kerjakan setelah hijrah ke Madinah adalah membangun Masjid, sebagai tempat ibadah, balai pertemuan untuk memusyawarahkan urusan umat, sekaligus sebagai tempat pendidikan. Baru setelah itu, beliau mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar.
Di masa kecermelangan umat Islam masjid juga memiliki peran aktif dan dinamis dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, di samping peran-perannya yang lain. Jika masjid telah kehilangan sebagian besar perannya, maka hilang pulalah risalah dan tujuan pembangunannya, dan tinggallah ia sebagai tempat mendirikan shalat yang dibuka pintunya beberapa menit sebelum waktu shalat, kemudian dikunci lagi setelah shalat selesai. Ketika peran masjid hanya sebatas itu, maka setiap individu masyarakat menjadi laksana kawanan domba di tengah malam yang sedang diguyur  hujan deras. Kemudian di sisi lain kita mendengar suara-suara gamang dari seminar-seminar dan diskusi-diskusi yang bertemakan “Mengembalikan Peran  Masjid” yang digelar  di balik gedung-gedung tinggi. Kita tetap berharap agar seminar-seminar tersebut bukan hanya sekedar suara yang keluar dari lisan kemudian mampir di telinga tanpa ada pembuktiannnya.
Sekali-kali jangan mengharap datangnya izzzah  (kemuliaan)  di dunia. Kekuasaan di bumi dan kedududkan tinggi di sisi Allah, kecuali jika kita benar-benar tahu tentang peranan masjid dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, kemudian kita fungsikan masjid tersebut dengan risalah pembangunannya dan kita buka peluang seluas-luasnya bagi masjid tersebut untuk menyampaikan dan melaksanakan perannya.
Jika keluarga, masjid, lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peran yang sangat besar dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, maka tak kalah besarnya peran para ulama, karena di tangan para ulamalah perjalanan tarbiyah dan ta’lim akan lancar.[58]






















Simpulan
Pada akhir abad ke-tujuh hijriyah Ibnu Qayyim lahir dan setelah menjadi ulama yang saat itu sudah masuk abad ke delapan hijriyah mulai banyak menulis kitab diberbagai disiplin ilmu, secara keseluruhan menurut abu zaid karya tulis Ibnu Qayyim berjumlah 96 kitab bahkan menurut Hasan Ibn Ali Al Hijazy mendata karya Ibnu Qayyim sebanyak 97 buah.Karyanya yang berkaitan dengan pendidikan antara lain Tuhfatul Maulud Bil Ahkamil Maudud, Miftah Dar As Sa’adah, Fadhl Al Imu wa Ahlihi, Al Thib an Nabawy, Al Furusiyah,Madatij As Salikin, Raudhatul Muhibbin,dan banyak bertebaran dalam karya-karyanyakajian tentang masalah pendidikan dengan tidak spesifik.Hal ini sebagai bukti perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan.
            Untuk itu penting mengkaji tokoh ini, hal ini dikarenakan untuk mengetahui bahwa Ibnu Qayyim bukan hanya tokoh pembaharu dalam bidang aqidah dan fiqh atau sebagai ahli ushul fiqh, ahli tafsir dan ahli bahasa, akan tetapi beliau juga sebagai tokoh pendidikan.Beliau adalah guru besar yang menelurkan para ulama terkenal seperti Ad Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab dan lain-lain.


















Daftar Pustaka
-    Al Quran
-    Hasan bin Ali Al Hasan Al hijazy,Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah,( Jakarta:Al Kautsar,2001 )
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Jawab Al Kafie, Mengetuk pintu ampunan meraih berjuta anugerah, terjemahan Futuhal Arifin (Jakarta:Gema Madinah Mekkah pustaka, 2007 )
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Miftah Dar As Sa’adah, Kunci Surga Mencari Kebahagian dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono ( Solo:Tiga Serangkai,2009 )
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ighosatul Lahfan min Mushadisis Syaithon ( kairo,2009)
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul Maulud Bil Ahkamil Maudud,Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, Abu Umar Ba’asyir Al Maedany, ( Solo:Pustaka Arofah,2006)
-    Husein Bahresi,Al Jamius As Shahih, Hadits Shihih Bukhori Muslim Pilihan,( Surabaya:Karya Utama)
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Fawaid, Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin,      ( Jakarta:Pustaka Al Kautsar,2008)
-    Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Thibbun Nabawi,(Beirut:Maktabah Al Manar Al Islamiyah,1982)
-    Ibnu Rajab, Dzail Thabaqah Hanabilah
-    Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah
-    Ibnu Hajar Al Asqalany, Durar Kaminah
   























[1] Dzail thabaqhat al hanabilah (IV:448)
[2] Dzail thabaqhat al hanabilah (11:450)
[3] Al Bidayah wa Nihayah (XIVI:1202)
[4] Al Mu’zam Al Mukhtashar li suyuthi huruf mim
[5] Ad durar al kaminah (IV:21)
[6] Baghyah ad Du’a (1:63)

[7] Miftahu darus sa’sadah,Ibnu Qayyim Al jauziyah
[8] Manhaj tarbiyah ibnu qayyim,Hasan bin Ali Hasan Al Hijazy,terjemahan muzaidi Hasbullah
[9] Ighosatul lahfan min Mushadisis syaithan,Ibnu Qayyim
[10] Manhaj tarbiyah ibnu qayyim
[11] Miftahu darus sa’adah
[12] Tuhfatul maudud fi ahkamil maulud,Ibnu Qayyim
[13] ibid
[14] ibid
[15] ibid
[16] Manhaj tarbiyah ibnu qayyim
[17] ibid
[18] Tuhfatul maudud bil akmamil maulud
[19] Ighastaul lahfan min mashidis syaithan
[20] ibid
[21] Jawabul kafie,Ibnu Qayyim Al Jauziyah
[22] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[23] ibid
[24] Roh,Ibnu Qayyim 
[25] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[26] ibid
[27] Mukhtashar Raudhatul Muhibbin,Ibnu Qayyim
[28] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Tuhfatul Maudud Bil Akmamil Maudud
[36] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Maksudnya adalah mengosongkan diri dari akhlaq tercela kemudian mengisinya dengan akhlaq mulia
[40] Al Fawaid,Ibnu Qayyim
[41] Hadist pilihan bukhari muslim,Husein Al Bahresi
[42] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[43] Ibid
[44] Al Fawaid
[45] Ibid
[46] Ibid
[47] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[48] Ibid
[49] Thibbun Nabawi,Ibnu Qayyim
[50] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[51] Ibid
[52] Miftah Daris Sa’adah
[53] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[54] Ibid
[55] Miftah daris sa’adah
[56] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim
[57] Ibid
[58] Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim